Tari Poco-Poco merupakan tarian modern aseli Indonesia yang diiringi lagu Poco-Poco ciptaan penggubah lagu asal Ambon, Arie Sapullete, ketika dia melihat gadis Irian menari melenggak-lenggok membawakan tarian tradisional daerah Yospan (Papua) dan Wayase (Ambon). Setidaknya itu yang saya dapat dari Wikipedia. Lirik yang genit dengan musik yang menghentak-hentak memang terlihat energetik.

Pada hari Ahad bulan Agustus silam pernah ditarikan oleh ribuan peserta yang memadati taman dan jalanan di sekitar Monas yang membuat decak kagum memecahkan rekor tarian masal Indonesia, bahkan mungkin dunia. Banyak pelancong internasional maupun domestik yang sengaja menyaksikan tarian kolosal Poco-Poco ini yang mungkin untuk pertama kali dan entah kapan akan terulang lagi.

Itulah tari Poco-Poco, yang dapat menyemangati kelompok yang sedang menginginkan suasana yang bersatu dalam suasana keceriaan bersama. Maka, tari Poco-Poco yang awalnya popular ditarikan masal oleh anggota Polri dan TNI, sekarang seringkali kita lihat di acara kumpul-kumpul, reuni, family gathering di perusahaan, outbond, panggung terbuka, promosi produk, atau selingan pada saat kempanye pilkada, pileg, dan pil-pil lainnya.

Tapi itulah Poco-Poco. Tarian yang terlihat menyenangkan, sukacita, menyatukan, namun gerakannya “jalan di tempat.” Maju selangkah, mundur dua langkah, berputar ke kiri, bergeser ke kanan, bergeser ke kiri lagi, maju, mundur, dan seterusnya. Sehingga, ternyata, posisi si penari boleh jadi tidak kemana-mana, dari mulai ikut menari sampai lagunya selesai.

Kira-kira begitulah dunia energi kita. Banyak sudah aturan dan kebijakan yang dikeluarkan tapi persoalan masih dari itu ke itu lagi. Sulitnya mencari sumber migas baru dan mempertahankan produksi yang sudah ada, melemahnya daya saing investasi, makin tingginya impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), inefisiensi rantai suplai gas bumi, peta jalan bauran energi yang semakin kabur, tarif listrik yang tidak pernah turun, dan lain-lain. Semua itu merupakan sebagian dari permasalahan yang berulang pada setiap tahun anggaran berjalan.

Barangkali ada yang salah pada penetapan key performance indicators (KPI) di BUMN Energi. “Siapa bertanggung jawab apa” sudah tidak jelas lagi. Terbukti dengan diperbolehkannya PGN memiliki ladang hulu migas, Pertamina boleh membentuk anak perusahaan yang mengelola listrik, dan PLN diijinkan untuk mengimpor LNG. Penyatuan PGN dengan Pertagas pun belum menunjukkan hasil perbaikan pada pemenuhan harga gas yang murah (kompetitif). PLN masih ingin mencari sumber gas yang lebih murah lagi melalui impor LNG.

Euforia penyerahan Wilayah Kerja (WK) Migas yang berakhir kontraknya dari KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) migas kepada Pemerintah, yang kemudian Pemerintah menyerahkan pengelolaannya kepada Pertamina sekilas ada keberpihakan kepada BUMN besar ini. Hanya saja apa iya itu menguntungkan Pertamina?

Besarnya signature bonus yang dikenakan kepada Pertamina bukan saja menjadi tanda tanya, tapi sekaligus “tanda seru,” karena uang tersebut sebetulnya dapat untuk menambah data baru melalui pemboran dan seismik baru dari wilayah kerja yang diserahkannya kepada Pertamina. Keberpihakan kepada perusahaan migas nasional (Pertamina) terkesan hanya sebagai slogan dan pelan-pelan justru akan membangkrutkannya.

Produksi migas nasional yang tak kunjung naik, sekarang dengan mudah dialamatkan ke Pertamina sebagai pihak yang bertanggung jawab setelah beberapa wilayah kerja yang berakhir masa kontraknya diserahkan kepadanya.

Padahal setiap orang yang berpengalaman bergelut di operasi migas tentunya faham betul, bahwa menaikkan peroduksi, bahkan untuk “hanya” menahan laju penurunan produksi, tidak semudah membalik tangan. Apalagi untuk kondisi lapangan yang sudah tua yang tidak terawat dengan baik pada saat akan diserahkan. Investasi sengaja dikurangi oleh kontraktor lama untuk hal-hal yang tidak dapat dikembalikan sebelum kontrak berakhir.

Ambil contoh pengalih-kelolaan Blok Mahakam yang pada awalnya cukup alot diputuskan karena ada keinginan operator lama (Total) masih ingin tetap ikut mengelolanya. Akhirnya, waktu transisi operasi yang seharusnya dilakukan untuk menghindari terjadinya penurunan produksi secara alamiah tidak terjadi. Seperti sengaja dibuat tidak ada waktu untuk transisi operatorship.

Contoh lain tentang skema Gross-Split. Beberapa pihak menyatakan konsep ini sangat bagus untuk meredakan isu tentang naiknya biaya produksi (cost recovery), mengefisiensikan biaya, dan menguntungkan pemerintah juga kontraktor. Tapi di lapangan ternyata menemui masalah.

Karena setelah tandatangan kontrak gross-split, semua skema pengembangan lapangan diserahkan kepada kontraktor, maka jika kontraktor memiliki program sendiri, Pemerintah (SKK Migas) tidak memiliki lagi wewenang untuk mengontrol, memerintah, atau mewajibkan investasi tertentu untuk, katakanlah, menaikkan produksi. Lalu, apa fungsi SKK Migas?

Di sektor hilir migas, upaya pembangunan kilang baru BBM tersandera masalah finansial. Keraguan investor terhadap keberlanjutan bisnis yang memiliki margin pas-pasan ini dinilai tidak cukup strategis karena jaminan bahan baku (feed stock) minyak mentah yang belum jelas. Apalagi negara tetangga, Singapura, telah membangunnya terlebih dahulu dengan kapasitas yang cukup untuk menyuplai dirinya dan negara-negara tetangga.

Porsi konsumsi BBM yang sebagian besar digunakan untuk transportasi dan kelistrikan diperkirakan akan terus menurun selaras dengan kemajuan energi baru dan terbarukan. Kilang baru BBM akan ekonomis jika digunakan dalam 30-40 tahun operasi. Pertanyaannya adalah apakah BBM akan tetap digunakan dalam 10-20 tahun ke depan? Tidak ada yang bisa memastikan.

Maka, yang perlu dibangun bukan kilang baru BBM, tetapi mestinya kilang petrokimia. Jadikan minyak mentah atau gas alam sebagai bahan baku untuk berbagai produk kimia dan turunannya untuk keperluan kehidupan masa kini dan mendatang.

Dengan langkah yang lebih inovatif dan progresif, akan berakhirlah tari poco-poco dunia energi kita. Mungkin akan digantikan tari pendet, rama-shinta, atau breakdance!