SAAT ini merupakan salah satu momentum terbaik untuk mengembangkan industri panas bumi nasional secara masif. Dalam perspektif global, terpilihnya Indonesia sebagai Presidensi G20 dapat berpotensi mendorong pengembangan industri panas bumi Indonesia. Sementara secara nasional, hadirnya Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang lebih hijau, juga menjadi momentum yang baik untuk mengembangkan industri panas bumi.

Sebagai Presidensi G20, Indonesia berkomitmen mengambil peran penting dalam pengembangan energi hijau. Dalam sejumlah kesempatan Presiden Jokowi mengisyaratkan agar komitmen tersebut tidak sebatas hanya tertuang dalam dokumen, tetapi ditindaklanjuti dengan kebijakan dan tindakan yang konkret. Indonesia perlu menyusun roadmap pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan skema pembiayaannya secara konkret.

Di antara komitmen negara-negara G20 adalah melaksanakan aksi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan Paris Agreement dan Agenda 2030. Anggota G20 berkomitmen mendorong agar kegiatan sektor-sektor ekonomi menjadi bebas emisi karbon. Dalam hal ini sektor energi menjadi prioritas utama untuk menuju ekonomi bebas emisi.

Peran Penting Panas Bumi

Industri panas bumi memiliki peran penting dan strategis untuk dapat mengakomodasi komitmen pemerintah. Untuk dapat merealisasikan komitmen pengembangan EBT, dapat dikatakan panas bumi merupakan salah satu yang perlu menjadi prioritas. Dari aspek skala, panas bumi merupakan EBT yang sangat potensial menjadi instrumen mencapai target pembangunan rendah karbon.

Indonesia memiliki potensi panas bumi sekitar 25 GW yang mana akan menurunkan emisi yang signifikan jika potensi tersebut dimanfaatkan secara maksimal. Keunggulan lainnya, Indonesia telah memiliki pengalaman dan sejarah panjang dalam pengembangan industri dan listrik panas bumi. Indonesia tercatat telah memproduksikan listrik panas bumi sejak tahun 1978.

Jika dibandingkan jenis EBT yang lain, panas bumi memiliki sejumlah keunggulan. Utamanya, panas bumi tidak memiliki masalah intermintensi sebagaimana permasalahan pada jenis EBT yang lain. Dalam pengembangannya, jenis EBT seperti tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga air menghadapai masalah intermitensi. Kemampuan memproduksikan listrik dari jenis EBT tersebut dipengaruhi oleh cuaca dan kondisi lingkungan.

Saat ini panas bumi tercatat sebagai satu-satunya jenis EBT yang dapat menjadi baseload dalam sistem kelistrikan. Sejumlah studi bahkan menyebutkan kemampuan listrik panas bumi dalam menjadi baseload bahkan lebih baik dibandingkan beberapa jenis pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil.

Dari aspek harga, biaya penyediaan listrik panas bumi juga relatif kompetitif. Statistik PLN 2020 menunjukkan bahwa biaya pembangkitan panas bumi atau PLTP bahkan lebih murah dibandingkan biaya pembangkitan listrik berbahan bakar fosil seperti PLTD, PLTG, dan PLTGU. Pada tahun 2020, rata-rata biaya operasi PLTP adalah Rp 1.107,89/kWh. Sementara rata-rata biaya operasi PLTD, PLTG, dan PLTGU pada periode yang sama masing-masing Rp 4.746,32/kWh, Rp 1.611,79/kWh, dan Rp 1.322,23/kWh.

Biaya penyediaan listrik panas bumi semakin terlihat kompetitif ketika dibandingkan dengan listrik dari tenaga surya (PLTS). Statistik PLN 2020 menyebutkan bahwa biaya operasi PLTS pada tahun 2020 sebesar Rp 11.817,73/kWh atau sekitar 10,66 kali lebih mahal dari biaya operasi PLTP. Dokumen tersebut juga menunjukkan seluruh komponen biaya operasi seperti biaya pemeliharaan, penyusutan aktiva, biaya pegawai, dan biaya bunga dari PLTP lebih rendah dibandingkan PLTS.

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, sampai saat ini pengembangan panas bumi Indonesia relatif belum signifikan. Porsi cadangan terbukti panas bumi dilaporkan baru sekitar 12 % dari total potensi yang dimiliki Indonesia. Sementara, total kapasitas terpasang listrik panas bumi baru sekitar 8 % terhadap total sumber daya panas bumi yang dimiliki Indonesia.

Data menunjukkan bahwa selama 30 tahun terakhir rata-rata penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi di Indonesia hanya sekitar 57 MW untuk setiap tahunnya. Kondisi dalam 10 tahun terakhir relatif lebih baik yang dilaporkan sekitar 100,56 MW untuk setiap tahunnya. Jika target RUPTL 2021-2030 dapat direalisasikan, dalam kurun 10 tahun ke depan, rata-rata penambahan kapasitas terpasang listrik panas bumi menjadi sekitar 335 MW untuk setiap tahunnya.

Pengembangan industri panas bumi Indonesia yang relatif lambat karena terdapat sejumlah kendala yang dihadapi. Waktu pengusahaan panas bumi yang relatif panjang menjadi salah satu kendala. Rata-rata tahapan pada kegiatan eksplorasi panas bumi saja memerlukan waktu antara 5-7 tahun. Sementara untuk Indonesia, tahapan tersebut rata-rata memerlukan waktu antara 7-10 tahun. Artinya, sampai dengan pengusahaan panas bumi dapat memproduksikan listrik paling tidak memerlukan waktu lebih dari 10 tahun.

Tahapan yang panjang tersebut kemungkinan menjadi salah satu penyebab mengapa dibandingkan jenis EBT yang lain panas bumi tidak menjadi pilihan untuk segera dikembangkan. Karena periode pengusahaannya relatif panjang, pengembangan dan pengusahaan panas bumi seringkali tidak dapat menjadi instrumen untuk mencapai target pengembangan EBT pada jangka pendek dan menengah.

Sebagai contoh, untuk mencapai target EBT dalam bauran energi nasional sebesar 23 % pada 2030 mendatang misalnya, panas bumi kemungkinan relatif tidak akan menjadi pilihan jika dibandingkan PLTS yang notabene memiliki periode pengembangan dan pengusahaan yang relatif lebih cepat.

Kebutuhan investasi awal yang cukup besar juga menjadi kendala pengembangan dan pengusahaan panas bumi relatif belum secepat jenis EBT yang lain. Data dan informasi yang ada menunjukkan porsi biaya eksplorasi mencapai sekitar 24 % terhadap total kebutuhan investasi untuk memproduksikan listrik dari panas bumi. Sementara sampai saat ini jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada tahapan eksplorasi masih relatif terbatas.

Regulasi yang mengunci harga listrik EBT tidak diperbolehkan lebih tinggi dari rata-rata BPP listrik di wilayah setempat merupakan kendala utama dalam pengembangan panas bumi. Ketentuan tersebut juga menjadi penyebab mengapa relatif sulit terjadi kesepakatan jual-beli listrik panas bumi antara pengembang panas bumi dengan PLN sebagai pembeli tunggal.

Mencermati permasalahan tersebut, untuk mengembangkan dan mengusahakan panas bumi secara masif memerlukan intervensi pemerintah. Penerapan kebijakan feed in tarrif yang disertai dengan dukungan kebijakan fiskal yang mencukupi adalah salah satu opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam upaya mengembangkan panas bumi nasional. (*)