Persoalan tingginya harga gas di Tanah Air kembali menyeruak. Sejumlah asosiasi industri masih mempermasalahkan tingginya harga gas domestik dibandingkan harga gas di negara tetangga. Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) misalnya, menyorot soal harga gas yang masih tinggi. Ketua Umum Asaki Elisa Sinaga, pekan lalu, menyatakan dibandingkan negara-negara lain yang memproduksi keramik dengan kapasitas besar seperti di Eropa, harga gas di Indonesia dianggap terlalu mahal.

Di Eropa, keramik merupakan industri uggulan sehingga gas sangat murah, yaitu sekitar US$ 3 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU). Harga gas industri di Indonesia disebut sebagai yang termahal di kawasan Asia, lebih mahal dari negara yang tidak memiliki cadangan gas. Menurut Asaki, di Indonesia, saat ini ada tiga harga variasi berdasarkan pembatasan wilayah. Di Jawa bagian barat US$ 9,15 dan di Jawa bagian timur US$ 8,03. Sementara itu, di Medan, Sumatera Utara, sudah diputuskan penurunan harga gas yang sebelumnya US$ 12 menjadi US$ 9,8 per MMBTU kendati para pelaku industri di Medan mengharapkan penurunan harga menjadi US$ 9 per MMBTU. Apalagi sekitar 35% biaya produksi bergantung pada energi gas.

Para pelaku industri keramik tidak meminta harga gas yang murah, tetapi lebih kepada harga yang berdaya saing. Mereka mencontohkan Medan dan Malaysia, ketimpangan harga gas terlalu jauh. Di Malaysia, harga gas hanya US$ 6 per MMBTU. Sementara di Medan, harga gas sebelum turun bisa US$ 12 per MMBTU. Akibatnya, tren pemakaian gas industri di Sumatera Utara terus turun selama 20 tahun terakhir. Sebelum tahun 2000, konsumsi gas mencapai lebih dari 25 juta MMBTU. Angka itu terus merosot dengan minimnya pasokan gas ke Sumut dan naiknya harga gas dari US$ 8,7 per MMBTU ke sektar US$ 14 per MMBTU. Kendati harga diturunkan menjadi US$ 12,2 per MMBTU, konsumsi terus turun. Saat ini, konsumsi gas tinggal sekitar 8,6 juta MMBTU atau sekitar 35%. (Kompas, 14-3-2017).

Para pelaku industri berharap pemerintah merealisasikan janjinya menurunkan harga gas agar industri di Sumut tidak makin terpuruk. Apalagi pemerintahs ebelumnya telah menerbitkan Perpres No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi dan Permen ESDM No.16/2016 tentang Tata Cara Penetapan Harga dan Pengguna Gas Bumi Tertentu. Melalui regulasi tersebut pemerintah membentuk tim taks force harga gas lintas kementerian, termasuk Kementerian Perindustrian agar daya saing industri dalam negeri kembali menguat. Tinggal konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam mengimplementasikan beleid itu. Jika harga gas turun, konsumsi gas diproyeksikan naik.

Urgensi Gas

Peranan gas bumi sebagai sumber energi di Indonesia secara perlahan mulai mengimbangi minyak bumi. Pengunaan gas bumi meningkat dari 1.577 BCF pada 2013 menjadi 2.596 BCF pada 2025 dan diproyeksikan menjadi 7.497 BCF pada 2050. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT (2015) memperkirakan dalam kurun waktu 2013-2050, total pemanfaatan gas bumi di Indonesia diproyeksikan tumbuh rata-rata sebesar 4,3% per tahun atau naik mencapai hingga 4,8 kali selama kurun waktu 37 tahun tersebut.

Menurut taksiran BPPT, kebutuhan gas bumi untuk dalam negeri meningkat dari 1,577 BCF pada 2013 menjadi 2,596 BCF pada 2025 dan menjadi 7,497 BCF pada 2050 atau meningkat rata-rata 4,3% per tahun.

Pertumbuhan pemanfaatan gas bumi terbesar adalah di sektor komersial yang meningkat rata-rata sebesar 7,1% per tahun diikuti oleh sektor industri (5,6%), transportasi (5,0%),pembangkit listrik (3,6%), dan rumah tangga (1,0%). Saat ini pangsa terbesar pemanfaatan gas adalah untuk sektor industri dengan pangsa mencapai 44% dari total pemanfaatan gas dan akan meningkat pada 2050 menjadi 69%. Gas bumi di sektor industri selain untuk bahan bakar juga digunakan sebagai bahan baku. Pada 2050 sektor pembangkit listrik, komersial dan transportasi masing-masing pangsanya sebesar 26%, 13% dan 1%. Sedangkan sektor rumah tangga pangsanya di bawah 1%.

Sejauh ini penggunaan gas belum optimal, salah satunya karena keterbatasan penggunaan infrastruktur. Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) mencatat, dibandingkan negara lain, infrastruktur gas di Indonesia tergolong miskin. Indeks panjang jaringan gas bumi di Indonesia hanya tercatat 6,4 km/m2. Indeks ini merupakan perbandingan antara panjang pipa gas dengan luas area. Sementara, indeks infrastruktur gas Thailand dan Malaysia masing-masing sebesar 11 km/ m2 dan 19 km/m2.

Dibandingkan negara lain, menurut Peta Jalan Kebijakan Gas Bumi Nasional 2014-2030 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, panjang pipa transmisi dan distribusi gas Indonesa terbilang pendek. Turki, misalnya, pada 2008 memiliki jaringan pipa transmisi dan distribusi gas sepanjang 11.094 km. Padahal, pada 2002, Turki hanya memiliki jaringan pipa gas sepanjang 4.410 km. Di Indonesia, pengembangan infrastruktur pipa gas tampaknya berjalan lambat. Pada 2012, jumlah jaringan pipa transmisi dan distribusi gas nasional baru mencapai 8.000 km. Jumlah tersebut hanya bertambah 200 km dibandingkan dengan panjang pipa pada 2010 sepanjang 7.800 km. Karena itu, percepatan pembangunan dan pengembangan infrastruktur gas di Indonesia sudah sangat mendesak demi pemerataan dan pemenuhan pasokan gas di seluruh wilayah Indonesia.

Infrastruktur gas terdiri atas beberapa kategori, seperti jaringan pipa (pipleine). Pipa gas (pipeline) merupakan perangkat transportasi untuk mengangkut dan enyalurkan gas dari sumber gas ke pengguna gas. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDN Nomor 2700 Tahun 2012 tentang Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional Tahun 2012-2025, jaringan pipa dibagi dalam beberapa kategori, yaitu open access, dedicate hulu, dedicated hilir, dan kepentingan sendiri.

Selain itu, ada kilang pengolahan LNG dan regasifikasi (gas bumi cair). Kilang likufaksi digunakan sebagai tempat memproses gas alam menjadi gas alam cair atau LNG. Kemudian ada terminal regasifikasi merupakan kebalikan dari proses lkuifaksi. Ini berfungsi mengubah kembali gas alam cair menjadi gas, yang terdiri atas dua kategori yaitu floating storage unit dan floating storage regasification unit serta land based storage and regasification. Juga ada storage compressed natural gas (CNG) plant yang merupakan unit untuk penyuimpanan sekaligus tranportasi CNG ke industri atau pembangkit listrik. Kemudian, jaringan gas rumah tangga serta SPBG, baik menggunakan CNG maupun LNG. Terkahir adalah LNG station yang merupakan fasilitas yang menghubungkan penyaluran LNG terminal penerima utama ke sarana transportasi gas seperti truk, kapal atau pun kereta.

Saat ini, menurut Peta Jalan Kebijakan Gas Bumi Nasional 2014-2030 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, infrastruktur gas bumi Indonesia masih perlu banyak pengembangan khususnya di wilayah tengah dan timur Indonesia. Infrastruktur gas bumi Wilayah barat Indonesia didominasi oleh jaringan pipa yang di masa depan akan menyambungkan tiga pulau besar yakni pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Walaupun infrastruktur gas bumi saat ini masih berada pada developing phase, yakni masih pada skema point to point, ke depannya Indonesia akan mengembangkan infrastruktur gas bumi ke dalam growth phase di mana skema pada phase ini adalah hub and spoke. Di masa depan, seiring berkembangnya negeri ini, phase yang terakhir adalah mature phase di mana skema yang diambil adalah multiple networks.

Untuk wilayah timur Indonesia, pengembangan infrastruktur gas bumi masih sangat sulit karena kontur geografis yang tidak memungkinkan untuk dibangun jaringan pipa gas bumi sehingga saat ini wilayah timur Indonesia masih dikuasai oleh energi yang berasal dari minyak bumi. Jika dikembangkan metode lain, yakni metode virtual pipeline, wilayah timur Indonesia bakal semakin maju. Potensi anchor buyer di wilayah timur sangat besar seperti yang ditunjukkan oleh gambar.

Anehnya, minimnya infrastruktur pipa ternyata tidak membuat Indonesia bergegas mengejar ketinggalan. Pengembangan infrastruktur pipa berjalan lambat. Selama periode 2010-2014, panjang pipa hanya bertambah 700 km, dari 7.800 km (2010) menjadi 8.500 km (2014). Rencana pembangunan pipa Kalimantan-Jawa, Gresik-Semarang, dan Cirebon-Semarang yang sudah dicanangkan sejak 2006 sampai sekarang belum terealisasi. Bandingkan dengan Turki dengan jaringan pipa bertambah dari 4.410 km (2002) menjadi 16.094 km (2013).

Di masa silam, mandeknya pengembangan infrastruktur gas, salah satunya disebabkan oleh kebijakan dan peraturan sektor migas yang sangat liberal, antara lain dengan pemberlakuan pola open access sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 19 Tahun 2009. Ketentuan dalam pasal 9 Permen ESDM No 19 Tahun 2009 memberi peluang munculnya trader gas yang tidak berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur. Saat ini terdapat 74 trader gas, namun yang memiliki fasilitas hanya sekitar 15 trader. Selebihnya adalah trader yang mempunyai kesempatan berniaga gas, tetapi tidak memiliki fasilitas pipa transmisi dan distribusi. Praktis, saat ini pengembangan jaringan infrastruktur gas, khususnya pipa gas, saat ini baru didominasi oleh dua perusahaan, yaitu PT Pertamina Gas, anak usaha PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.

Dominasi Pertamina Gas dan PGN dalam pengembangan infrastruktur pipa gas di Tanah Air memang tak terelakkan. Pertamina Gas ditopang oleh pendanaan yang kuat dari Pertamina, sedangkan PGN mengandalkan kemapuan pendanaan di pasar modal. Apalagi,
pembangunan jaringan distribusi dan infrastuktur gas bumi di Indonesia membutuhkan investasi sangat besar. Sementara tingkat pengembalian investasinya tergolong kecil sehingga kurang diminati oleh investor maupun perusahaan swasta. Padahal, ketersediaan infrastruktur gas selama ini menjadi masalah utama penyerapan gas di dalam negeri.

Menurut perhitungan Komisaris Utama PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) Muhammad Lutfi, investasi yang dibutuhkan untuk membangun jaringan distribusi dan infrastruktur gas di Indonesia berkisar US$ 42 miliar atau setara dengan Rp 562,8 triliun. Lantaran membutuhkan dana yang jumbo, tingkat pengembalian investasinya pun harus besar. Lutfi memprediksi, Investment Rate of Return (IRR) proyek infrastruktur gas harus di atas 20%. Kalau di bawah itu, tidak ada perusahaan yang sanggup membiayainya (katadata.com, 26 Mei 2016).

Pemerintah memang berharap swasta membantu pembangunan jaringan pipa dan terminal penerimaan gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) untuk menyerap gas di dalam negeri. Selain itu, pemerintah pada tahun ini berencana menambah pipa yang dapat digunakan secara bersama menjadi 6.153 kilometer (km), dari sebelumnya 4.165 km. Tidak hanya itu, pemerintah akan menambah pipa khusus untuk hilir meningkat dari 4.337 km menjadi 9.177 km.

Sementara itu, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 06 tahun 2016 tentang tata cara penetapan alokasi dan pemanfaatan serta harga gas bumi yang diterbitkan Februari 2016, mewajibkan badan usaha yang mendapatkan alokasi gas bumi memiliki atau menguasai infrastruktur fasilitas penyaluran dan penggunaan gas.

Meski begitu, pemerintah memberikan tenggang waktu kepada para badan usaha yang belum memiliki infrastruktur gas untuk membangunnya. Alternatifnya membangun pipa bersama. Misalnya, jika dalam satu pipa sepanjang 10 km ada lima badan usaha yang memanfaatkan itu, lebih baik kelima badan usaha tersebut bekerjasama membangun jaringan pipa gas. Dengan begitu biaya yang dikeluarkan akan lebih murah.

Namun, membangun infrastruktur gas bumi juga tidak mudah karena harus melalui berbagai macam izin dan biaya pembebasan lahan yang mahal. Ketika beroperasi, biaya pengelolaannya pun tidak murah. Contohnya, seperti halnya jalan tol, pengembang infrastruktur harus membayar pajak bumi dan bangunan di wilayah jaringan pipanya. Dengan berbagai macam risiko tersebut, setiap perusahaan tidak akan gegabah membangun infrastruktur gas bumi.

Kenaikan permintaan gas gagal diantisipasi dengan instalasi jaringan pipa transmisi dan distribusi yang memadai. Alhasil, banyak daerah di Indonesia yang belum tersambung oleh jaringan pipa. Indonesia selama berpuluh-puluh tahun adalah negara eksportir gas, sehingga pembangunan jaringan pipa gas tidak berkembang. Menurut Sampe L Purba (Kompas, 27-7-2012), minimnya infrastruktur gas menyebabkan pemasok kesulitan untuk memasok gas ke konsumen.

Permasalahan infrastruktur menurut Sampe, layaknya ayam dan telur. Satu pihak menyatakan infrastruktur gas sulit dibangun selama tidak ada kepastian pasokan dari hulu (produsen). Pengembang enggan membangun jaringan pipa transmisi karena dikhawatirkan ketika pipa sudah terbangun tidak ada supply gas yang memadai. Pihak lain justru mengatakan minimnya pasokan gas disebabkan tidak adanya infrastruktur gas yang memadai. Hal ini yang menyebabkan deadlock atas solusi permasalahan gas dan memperlihatkan tidak adanya koordinasi antara sektor hulu dan hilir.

Di sisi lain, tingginya ekspor gas, yang mencapai angka 44%, juga bisa jadi kendala. Pada awalnya, tingginya tingkat ekspor disebabkan permintaan dalam negeri yang masih sedikit sehingga produksi gas alam diarahkan untuk pembeli luar. Apalagi Indonesia sudah terikat kontrak ekspor dengan sejumlah pembeli dari tujuh negara, dan terikat kontrak pembelian gas antara 2013 hingga 2029. Tingginya tingkat ekspor ini terjadi karena adanya perbedaan antara harga jual gas di dalam negeri dan luar negeri.

Faktor lainnya adalah kebijakan bauran energi yang kurang tepat. Pemerintah Indonesia menggalakkan penggunaan gas (konversi minyak ke gas) pada saat infrastruktur dan pasokan gas belum memadai. Contohnya, konsumsi gas untuk pembangkit sempat naik kala harga BBM di atas US$ 100 per barel. Belum lagi soal ketidakpastian pasokan dari produsen dan distributor. Konsumen gas mengeluhkan ketidakpastian pasokan gas dari distributor.

Di sisi lain, distributor juga mengeluhkan pasokan gas dari hulu (produsen gas). Beruntung bagi perusahaan distribusi gas yang memiliki induk usaha yang salah satu anak usahanya menjadi produsen gas. Pasokan gas dari hulu hingga hilir bisa lancar sepanjang tersedia jaringan infrastruktur gas yang memadai. Celakanya, perusahaan yang memiliki kemampuan seperti itu, menjadi perusahaan energi terintegrasi dari downstream, midstream, hingga upstream hanya ada satu, yaitu Pertamina. Karena itu, Pertamina lah yang kemudian menjadi andalan dalam penyediaan dan pengembangan gas secara terintegrasi. Di hulu mereka memiliki sejumlah anak usaha yang memproduksi migas, yaitu PT Pertamina EP, PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina EP Cepu, serta PT Pertamina International EP. Di midstream, Pertamina memiliki jaringan distribusi dan transportasi yang sangat kuat melalui kepemilikan armada kapal dan juga FSRU. Sementara di hilir, pasokan gas disalurkan melalui pipa ke konsumen rumah tangga dan industri melalui Pertamina Gas dan anak usahanya.

Kita berharap di era Pemerintahan Joko Widodo dan Menteri ESDM dijabat oleh Ignasius Jonan, persoalan yang membelit seputar gas domestik–mulai dari pasokan, infrastruktur, dan harga–bisa terselesaikan. Dengan demikian, optimalisasi penggunaan gas sebanyak-banyaknya untuk kepentingan masyarakat dan industri nasional bisa tercapai. Wallahuallam bissawab.