DENGAN diskusi seputar perubahan iklim yang kembali muncul ke permukaan, negara dari seluruh dunia baru saja berkumpul dalam ajang pertemuan internasional COP26 di Inggris, membahas empat poin tujuan utama demi mencapai ketahanan lingkungan global secara kolektif di masa depan.

Menyadari pentingnya peran Indonesia dalam gelombang transformasi global, salah satu negara paru-paru dunia ini menargetkan ambisi target nol emisi Indonesia pada tahun 2060 – salah satunya dengan inovasi penggunaan alat transportasi kendaraan berbasis listrik. Bahkan, pemerintah sudah mematok target yang tinggi, yaitu angka produksi mobil listrik sejumlah 600.000 mobil dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada tahun 2030. Padahal, Indonesia baru akan memulai produksi kendaraan listrik dengan target 1.000 kendaraan per tahun pada 2022 mendatang.

Sebagai bentuk komitmen Indonesia terhadap perjanjian Paris mengenai perubahan iklim, pengembangan baterai untuk kendaraan listrik dan industri manufakturnya menawarkan peluang strategis penting yang juga dapat membantu memecahkan berbagai masalah – salah satunya yaitu soal isu ketahanan energi.

Lebih dalam, angka ekspor minyak Indonesia diperkirakan akan mencapai 118 juta barel pada akhir tahun 2021 (Biro Pusat Statistik Indonesia – BPS)- berpotensi menyebabkan Indonesia rentan terhadap kedinamisan situasi geopolitik dan naik turunnya pasokan global. Namun, jika dilihat dari perspektif ekonomi, pengembangan produk baterai kendaraan listrik dan industri manufaktur kendaraan listrik berpotensi memberikan kontribusi positif terhadap ekonomi negara berkat adanya lapangan kerja baru. Sebagai tambahan, peralihan penggunaan energi ini juga dapat membantu memecahkan isu penggunaan tenaga berdaya batubara – seperti yang kita ketahui, Indonesia saat ini memiliki pembangkit listrik bertenaga batubara sebesar 34 GW, yang secara tidak langsung berarti mereka ‘membakar’ uang setiap hari, terlepas dari kurangnya penggunaannya.

Demi mendukung perkembangan industri kendaraan listrik, rencananya Indonesia akan menghentikan kegiatan impor bahan bakar gas (LPG) dan bahan bakar pada tahun 2030, yang didukung dengan pembangunan infrastruktur energi nasional secara besar-besaran. Upaya ini juga disertai dengan larangan ekspor bijih nikel demi melestarikan logam mulia untuk industri baterai dalam negeri, mengembangkan model melingkar demi pemanfaatan sumber daya dan pengurangan limbah, serta untuk meningkatkan daya tarik investasi asing terhadap industri kendaraan listrik nasional.

Pada dasarnya konsumen di Indonesia secara mayoritas berfokus pada harga dan fungsionalitas kendaraan, sehingga Indonesia juga berencana untuk menerapkan beberapa insentif keuangan demi mendorong tingkat penggunaan kendaraan listrik, seperti; pengurangan dan pembebasan pajak, biaya dasar yang rendah untuk pendaftaran kepemilikan kendaraan listrik, serta biaya impor yang disesuaikan. Sejumlah upaya itu juga akan juga disertai dengan berbagai langkah seperti; pengetatan standar emisi kendaraan, cukai bahan bakar atau harga karbon secara ekonomi, demi membatasi dan mengurangi penggunaan kendaraan mesin pembakaran internal (ICE) tradisional.

Jika kita melihat kondisi yang ada, layaknya seperti sebuah proses, tentu ada beberapa tantangan yang dihadapi.

Pertama adalah soal harga. Rata-rata harga sebuah mobil listrik paling murah masih senilai dua kali lipat harga kebanyakan mobil ‘tradisional’ – terlepas dari penyesuaian uang muka kendaraan yang dipangkas hingga 40 persen. Hal ini yang kemudian menyebabkan mayoritas pembeli masih berasal dari kalangan tertentu saja.

Oleh karena itu, penting untuk melakukan edukasi bahwa semua jenis kendaraan hibrida (Hybrid Electric Vehicles/HEVs), seperti kendaraan listrik adalah kendaraan yang dapat dimiliki oleh semua kalangan dan bukan kalangan tertentu saja, sehingga dapat mendorong angka kepemilikan kendaraan dengan daya listrik. Saat ini, pemerintah Indonesia sedang melakukan berbagai upaya, salah satunya yaitu dengan uji coba infrastruktur stasiun pengisian kendaraan listrik, yang tentunya membutuhkan dukungan jangka panjang dari sektor swasta. Contoh konkret dukungan pihak swasta yang sudah dilakukan adalah kemitraan antara Pertamina, Gojek, dan Gogoro dalam percontohan baterai swap dan uji coba kendaraan Gogoro Smartscooter di Jakarta.

Lebih lanjut, tidak hanya dari perspektif industri secara bisnis, pendidikan dan pelatihan tenaga kerja lokal, serta akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan juga perlu menerima perhatian khusus. Belum lagi persaingan dari negara tetangga ASEAN yang perlu dipertimbangkan; Thailand, Vietnam, Filipina, dan India, yang masing-masing memiliki rencana manufaktur kendaraan listrik dan peta jalan untuk ekspansi mereka sendiri.

Potensi adopsi penggunaan kendaraan listrik akan ditentukan oleh tingkat dukungan kebijakan yang diterbitkan serta dinamika perkembangan pasar kendaraan listrik secara keseluruhan.

Di sisi lain, Australia sebagai salah satu negara tetangga yang paling dekat dengan Indonesia, berpotensi menerima manfaat dari ‘ledakan’ industri kendaraan listrik ini. Konsumen di Australia berpotensi menerima manfaat dari impor kendaraan listrik berbiaya rendah dari Indonesia, berkat kondisi geografis kedua negara yang berdekatan.

Selain itu, Australia juga berpotensi menjadi pemasok sumber daya mineral seperti Lithium yang digunakan untuk pembuatan baterai lithium ion berbasis nikel. Lebih lanjut, potensi kemitraan dalam pengembangan teknologi dan riset yang saling menguntungkan, salah satunya melalui Monash University Indonesia yang menjadi kampus asing pertama di Indonesia – juga dapat menjadi peluang baik untuk kedua negara.

Dengan penjualan kendaraan listrik secara global yang meningkat drastis dari 2 juta unit menjadi 30 juta, terlihat bahwa eksistensi kendaraan listrik di Indonesia memasuki era yang baik untuk ekonomi maupun lingkungan. Selamat datang moda transportasi masa depan!