INDUSTRI migas Indonesia yang sudah berumur lebih dari seratus tahun tidak ada yang menyangkal kontribusinya yang begitu besar untuk pembangunan negara ini. Namun demikian, tidak sedikit pula menyisakan masalah lingkungan dan isu hukum (legal dispute) yang memerlukan perhatian.

DPR dan Kabinet baru Indonesia Maju tidak dapat melepaskan diri dan berkilah bahwa masalah ini adalah warisan masa lalu. Toh ada sebagian isu yang terjadi pada masa pemerintahan periode yang lalu yang belum dituntaskan, bahkan terjadi karena keputusan (:kebijakan) yang diambil pada saat itu. Boleh jadi ini akan menjadi “bom waktu” yang dapat meledak kapan saja, karena kita belum melihat ada yang mencoba “menjinakannya.”

“Bom waktu” dunia migas kita itu antara lain: *reklamasi (decommissioning) lapangan dan sumur-sumur tua; proses alih-kelola wilayah kerja; eksekusi proyek-proyek Hulu; pembangunan kilang; dan konektifitas infrastruktur.*

Seperti kita tahu, secara aturan keteknikan yang baku, dan juga tercantum dalam Undang-Undang, suatu operasi migas akan ditutup dengan langkah reklamasi atau decommissioning. Ini juga dikenal sebagai ASR (Abandonment and Site Restoration). Pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM No 15 Tahun 2018 tentang Kegiatan Pasca Operasi pada Kegiatan Usaha Hulu Migas, sebagai pedoman pelaksanaan UU Migas 22/2001. Bahwa ASR diwajibkan kepada semua operator migas manakala operasimya berakhir. Biayanya pun tidak sedikit, antara USD50.000 hingga USD150.000 per sumur. Dengan jumlah puluhan ribu sumur-sumur tua di Indonesia, dan ratusan anjungan lepas pantai (platform) yang tersebar di perairan kita, tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Adakah dana yang sudah terkumpul dari KKKS cukup untuk menutupi biaya yang diperlukan untuk ASR ini?

Tentunya, jika ada kekurangan anggaran ASR, pada akhirnya, Pertamina akan menanggung beban karena hampir semua wilayah kerja (WK) KKKS yang berakhir masa kontraknya dialih-kelolakan kepada Pertamina. Inilah “bom waktu” yang sewaktu-waktu dapat meledak.

Kedua, penyerahan (alih-kelola) aset hulu dari blok-blok wilayah kerja yang sudah berakhir masa kontraknya dapat juga menjadi “bom waktu”. Minimnya data dan informasi atas transisi alih-kelola ini menyisakan pertanyaan tentang status asset; data fisik dan non-fisik; data pekerja; cadangan migas; dan dokumen penting lainnya. Selain harus membayar signature bonus, dan menandatangani komitmen pasti, Pertamina mau tidak mau harus menyerap seluruh pekerja dari operator lama di blok yang diserahkan. Termasuk fasilitas pendukung (perumahan, gedung, gudang, fasilitas umum, lapangan golf, dll) yang mungkin tidak semua diperlukan dalam kondisi lapangan pada saat diserahkan. Dan, tidak semua aset yang diserahkan dalam kondisi baik. Lantas, siapa yang akan menanggung biaya pemeliharaannya?

Ketiga, eksekusi proyek-proyek Hulu yang berskala besar, yang diharapkan dapat mendongkrak produksi migas nasional, ternyata mengalami pelambatan. Ini perlu ditanyakan keseriusan investornya. Proyek-proyek itu antara lain proyek IDD Chevron di laut-dalam Selat Makassar dan proyek LNG Lapangan Masela di Blok Abadi. Dengan kebutuhan energi semakin hari semakin meningkat, dan suplai energi dari sektor hulu migas semakin menurun, tentunya, dibutuhkan keberhasilan proyek Hulu yang tepat waktu. Jika tidak, “bom waktu” ini akan meledak.

Keempat, tentang pembangunan kilang minyak (grassroot refinery) yang berskala besar. Bahwa pembangunan kilang ini memerlukan investasi dan biaya operasi yang sangat besar, sementara fluktuasi harga minyak mentah dan BBM saat ini penuh ketidakpastian, sehingga keuntungan bisnisnya boleh jadi sangat marginal. Dengan demikian, ini memerlukan re-evaluasi dan pengambilan keputusan yang tepat dan bijak, karena ini juga dikhawatirkan dapat menjadi “bom waktu” bagi Pertamina maupun dunia energi pada umumnya.

Kelima, tentang konektifitas infrastruktur migas. Bahwa dalam jangka menengah suplai gas akan menjadi sangat dominan, yakni dengan adanya negara-negara baru penghasil LNG yang akan membanjiri LNG di pasar internasional. Sehingga, diprediksi harga LNG akan sangat kompetitif (jauh lebih murah) dibanding dengan harga bahan bakar minyak. Oleh karenanya, pembangunan infrastruktur gas dan LNG, seperti: unit regasifikasi, bunkering, isotank, dispenser ataupun Mini LNG ecosystem sudah harus dipikirkan konektifitasnya. LNG harus bisa ditransportasikan ke pulau-pulau kecil dan dimonetisasi ke berbagai kebutuhan gas, seperti: pembangkit listrik, pabrik pupuk, industri petrokimia, smelter, transportasi, kawasan komersial, rumah-tangga, dan lain-lain. Jika infrastruktur gas ini belum terkoneksi dengan baik, maka kita tidak dapat memanfaatkan energi bersih ini dengan harga yang kompetitif. Artinya, kita masih akan terus mengandalkan bahan bakar minyak yang semakin langka dan mahal. Jadilah “bom waktu” yang sewaktu-waktu dapat meledak.

Lantas, bagaimana cara menjinakkan “bom waktu” ini?
***
(BERSAMBUNG)

.