Dalam Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yaitu tujuan nomor 7 tentang energi bersih dan terjangkau, disebutkan akan upaya untuk meningkatkan akses energi yang universal, peran energi terbarukan yang lebih besar, dan kondisi efisiensi energi yang semakin baik. Target SDGs tersebut juga terkait erat dengan komitmen Indonesia dalam Kesepakatan Paris untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor energi.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan tekanan akan pentingnya mengutamakan pencapaian kualitas akses listrik dan kesungguhan melakukan riset di bidang energi untuk mencapai tujuan tersebut.

Paradigma Kualitas Akses

Dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Listrik PT PLN (Persero) 2019 – 2028, disebutkan pada 2020 semua rumah tangga di Indonesia sudah mendapatkan akses listrik. Jika target ini dapat dicapai, maka Indonesia lebih cepat 10 tahun dalam pencapaian SDGs.

Namun demikian, dalam konteks perbandingan dengan negara lainnya, posisi Indonesia relatif agak terlambat dalam pencapaian 100 persen rasio elektrifikasi (RE), misalkan Vietnam mampu mencapai RE 100 persen pada 2017 dan Tiongkok pada 2010.

Walaupun RE 100 persen dapat dicapai di tahun ini, bukan berarti permasalahan selesai. Paling tidak ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan.  Pertama, rumah tangga mendapatkan akses listrik dari berbagai sumber atau dalam kategori pelanggan PLN dan bukan pelanggan PLN. Pada 2019, tercatat sekitar 2,28 juta rumah tangga mendapatkan akses listrik tidak dari PLN atau sekitar 3 persen jumlah rumah tangga yang ada. Dari rumah tanggal tersebut sekitar 80 persen, berada di luar Pulau Jawa.

Kenyataan tersebut memberikan implikasi pada sisi keadilan energi khususnya dari sisi akses terhadap subsidi listrik. Pelanggan listrik PLN khususnya mereka yang masuk dalam kelompok target penerima subsidi yaitu pelanggan 450 VA dan pelanggan tidak mampu di daya 900 VA. Bahkan akibat COVID-19, kelompok pelanggan 450 VA mendapatkan listrik secara gratis dan potongan harga 50 persen untuk pelanggan 900 VA.

Pelanggan listrik bukan PLN tentu tidak seberuntung pelanggan PLN kerena mereka tidak akan mendapatkan subsidi listrik walaupun dari sisi kondisi ekonomi rumah tangga tersebut berhak mendapatkan subsidi listrik.

Kedua, akses listrik belum mencerminkan kondisi kecukupan listrik. Jika diperhatikan angka konsumsi listrik per kapita Indonesia baru mencapai sekitar 1.084 kWh. Nilai ini jauh di bawah Malaysia dan Vietnam yang pada 2014 masing-masing sudah mencapai 4.652 kWh dan 1.424 kWh.

Bahkan, dalam angka standar yang diberikan oleh Badan Energi Dunia (International Energy Agency), kebutuhan konsumsi listrik per rumah tangga sekitar 1,250 kWh, dan jika angka ini disandingkan dengan konsumi listrik rumah tangga PLN pelanggan 450 VA, maka besarannya baru mencapai sekitar 1.178 kWh.

Relatif rendahnya angka konsumsi listrik baik per kapita dan juga dalam tingkatan rumah tangga, mengindikasikan belum sepenuhnya manfaat kehadiran listrik bisa dioptimalkan untuk mendukung kehidupan yang lebih baik di tingkat rumah tangga. Hal ini dapat terjadi kerena terbatasnya akses listrik dan daya beli.

Ketiga, di beberapa provinsi ditemukan angka RE yang cukup tinggi seperti Papua sekitar 94,3 persen dan Nusa Tenggara Timur 85,8 persen. Namun demikian jika ditelisik besaran RE bukan dari PLN untuk kedua provinsi tersebut masing-masing sekitar 45 persen dan 30 persen. Hal ini mengindikasikan relatif tingginya peran aktor bukan-PLN.

Pengalaman penulis dalam melakukan studi akses listrik mengindikasikan, keberlanjutan akses listrik yang dilakukan bukan oleh PLN lebih beresiko karena pendekatan program yang bersifat hit and run. Sehingga, risiko untuk kembali turunnya RE masih relatif tinggi.

Kualitas Penelitian Energi

Dalam upaya membangun akses energi listrik yang lebih bersih, pemanfaatan energi terbarukan (ET) perlu mendapat prioritas. Saat ini produksi energi listrik dari sumber energi terbarukan baru mencapai 11,5 persen dan tingkat pemanfaatan baru mampu sekitar 5 persen dari potensi. Dengan demikian, untuk mencapai target bauran energi tebarukan sekitar 23 persen pada 2025, bukanlah hal yang sulit jika segenap potensi dapat dikembangkan.

Akan tetapi, rendahnya pemanfaatan ET lebih banyak dilihat dari perspektif ekonomi ataupun bisnis yang kurang menarik, dan kurang melihat kondisi ini sebagai dampak dari kebijakan riset energi.

Dalam Rencana Induk Riset Nasional Tahun 2017-2045, tertulis riset bidang energi menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah. Dalam upaya pencarian sumber energi, pengelolaan, dan konversi sumber daya alam menjadi energi, maka riset bidang energi diharapkan dapat mendukung ketersediaan dan kedaulatan energi. Riset bidang energi tidak hanya akan memberikan basis pengetahuan, namun juga menjadi landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.

Namun demikian, studi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Manajemen Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi LIPI, terkait dengan publikasi riset energi terbarukan tenaga angin, tenaga air dan panas bumi di Indonesia, ternyata masih didominasi oleh publikasi dalam bentuk prosiding atau sekitar 69,3 persen dari total publikasi. Tentu saja, publikasi dalam bentuk prosiding tidak bisa disamakan dengan publikasi dalam jurnal terindeks yang menuntut kualitas yang prima.

Demikian juga lemahnya kemampuan peneliti lokal dalam membangun jejaring kolaborasi riset energi terbarukan khususnya pada riset tenaga angin, panas bumi dan tenaga air, memberikan pengaruh pada kualitas penelitian serta tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level) yang masih rendah.