JAKARTA – Langkah PT Pertamina (Persero) mengakuisisi Blok Basker, Manta & Gummy (BMG) Australia dinilai merupakan bentuk inisiatif untuk meningkatkan produksi minyak. Tidak hanya untuk menambah kekayaan perusahaan, langkah Pertamina juga untuk meningkatkan ketahanan energi nasional.

“Saya yakin hal ini ada dalam dada setiap direksi dan pekerja Pertamina. Kalau di hilir sangatlah kelihatan, layanan lebaran sampai kepada  layanan BBM satu harga,” kata Ibrahim Hasyim, pemerhati minyak dan gas,  kepada Dunia Energi, Kamis(13/6).

Namun inisiatif tersebut justru menyeret Karen Agustrawan, mantan Direktur Utama Pertamina sebagai tersangka. Kejaksaan Agung menyangkakan Karen merugikan negara, karena kegagalan investasi di blok migas BMG pada 2009.

Kasus ini dimulai ketika Pertamina melakukan investasi non-rutin. Investasi tersebut berupa akuisisi pembelian hak partisipasi (participating interest/PI) milik Roc Oil Company (ROC), Ltd di Lapangan BMG, Australia.

Blok BMG Australia yang terletak di Offshore South East Australia merupakan blok yang telah berproduksi sejak 2006. Pada awal Mei 2009, Pertamina melakukan bidding 10% yang selanjutnya aset tersebut dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE), anak perusahaan yang pada saat itu ditugaskan untuk mengelola Blok BMG.

Selain Pertamina, PI BMG ini juga dimiliki oleh ROC, Beach Petroleum, Sojitz Energy, dan Itochu. Porsi kepemilikan PI pada Blok BMG (2009), antara lain  Anzon Australia (30%), Beach Petroleum (30%), CIECO E&P Australia (20%), Sojitz Energy Australia (10%), dan PHE Australia (10%).

Lapangan BMG memiliki tingkat produksi cukup berfluktuatif, antara 8.000-11.000 barel per hari (bph). Namun pada periode 2009 telah terjadi penurunan produksi yang semula 8.000 bph menjadi 4.200 bph pada 2010. Dalam kurun waktu tersebut, rata-rata produksi harian adalah 2.649 bph dan Pertamina memperoleh 10%  sebesar 264,9 bph.

Tim internal melakukan kajian dan diperoleh hasil bahwa cadangan migas Blok BMG turun signifikan. Berdasarkan kondisi tersebut, pada 5 Oktober 2010 telah diambil keputusan secara voting oleh semua pemilik Pl. Hasilnya 70% pemilik PI setuju dilakukan Non-Production Phase (NPP). Pertamina dan CIECO E&P Australia tidak setuju dengan keputusan NPP, dan menginginkan tetap berproduksi sampai batas keekonomian. Namun berdasarkan JOA, Pertamina dan CIECO E&P Australia harus mengikuti dan menghormati keputusan mayoritas.

Terkait dengan hal tersebut, alternatif lain yang dapat dilakukan oleh Pertamina adalah dengan melakukan soIe-risk yaitu Pertamina membiayai proyek tersebut sendiri. Namun sesuai dengan usulan yang diberikan oleh PHE, Pertamina mengambil langkah untuk melakukan divestasi dengan mundur dari pengelolaan Blok BMG tersebut.

Kejagung yang mengusut kasus ini sejak akhir 2016 menduga bahwa ada penyimpangan dalam pengambilan keputusan investasi Blok BMG. Kejagung menduga investasi tidak sesuai dengan pedoman, tanpa studi kelayakan yang lengkap dan tidak didasarkan persetujuan Dewan Komisaris Pertamina.

Padahal faktanya studi kelayakan sudah dilakukan oleh pihak internal dan eksternal Pertamina, serta dewan komisaris sudah memberikan izin akusisi Pl Blok BMG kepada direksi. Kebijakan direksi Pertamina adalah bussiness judgement rule, dan sampai saat ini tidak ditemukan niat jahat lahar (mens rea) ataupun aliran dana

Pada 2012, BPK pun telah melakukan pemeriksaan denqan tujuan tertentu terhadap Blok BMG dan tidak menemukan adanya kerugian negara yang terjadi akibat dilakukannya akuisisi Blok BMG oleh Pertamina.

Risiko Investasi

Ibrahim mengatakan kasus yang dihadapi Karen Agustiawan mempunyai banyak dimensi. Dilihat dari laba rugi, benar bahwa setiap korporasi harus laba. Dan ini diukur di akhir tahun sebagai laba total bukan laba per proyek yang dipertanggung jawabkan direksi kepada pemegang saham.

Apabila dilihat dari jenis usaha, setiap jenis bisnis punya behavior sendiri, sehingga cara mengelolanya tidak selalu sama, tetapi mengikuti kaidah-kaidah umum yang ada dibidangnya.

“Tingkat risiko di usaha migas, apa pun bentuk investasi yang dipilih tetap berisiko. Mau eksplorasi ngebor sendiri atau pun melalui akuisisi akan sama, akan ada kemungkinan laba ruginya,” kata Ibrahim.

Dia menambahkan, seorang pimpinan perusahaan perlu mematuhi aturan-aturan yang ada, tetapi juga harus mempunyai intuisi bisnis dan keberanian membuat keputusan yang berisiko untuk mengembangkan perusahaan.

“Tanpa ada seperti itu, perusahaan akan jalan ditempat. Soal ini lah yang menurut saya akan menginspirasi setiap pemimpin BUMN di masa depan untuk mau berinisiatif atau mau nyaman saja,” tandas Ibrahim.(RA)