JAKARTA – Energi bagi kehidupan, termasuk listrik dan gas di dalamnya adalah bagian dari siklus kehidupan dan peradaban sehingga harus dijaga kedaulatan, keberlanjutan dan ketahanannya. Paradigma Kebijakan Energi Nasional (KEN) menyebutkan bahwa energi dimanfaatkan untuk modal pembangunan guna sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan cara mengoptimalkan pemanfaatannya bagi pembangunan ekonomi nasional, penciptaan nilai tambah di dalam negeri dan penyerapan tenaga kerja.

“Saat ini sudah muncul kesadaran umat manusia untuk memanfaatkan energi yang ramah lingkungan, sehingga secara global harus bersama-sama mewujudkannya dalam rangka mitigasi perubahan iklim,” ungkap Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR, baru-baru ini.

Sugeng mengatakan, peran energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia masih rendah, yaitu sebesar 8%. Sedangkan target pada 2025 sebesar 23%. Untuk kondisi saat ini, energi terbarukan merupakan kebutuhan dalam rangka menjaga lingkungan dan keberlangsungan kehidupan.

“Perlu adanya payung hukum yang kuat (Undang-undang) untuk mengakselerasi pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia,” kata Sugeng.

Pengembangan energi terbarukan juga didorong munculnya kesadaran secara kolektif dari masyarakat hingga ke pengambil kebijakan akan perlunya energi yang bersih dan ramah lingkungan.

Sugeng menambahkan, total potensi energi terbarukan ekuivalen 442 gigawatt (GW) digunakan untuk pembangkit listrik. Untuk BBN dan biogas sebesar 200 ribu bph
digunakan untuk keperluan bahan bakar pada sektor transportasi, rumah tangga, komersial dan industri. Pemanfaatan EBT untuk pembangkit listrik pada 2018 sebesar 8,8 GW atau 14% dari total kapasitas pembangkit listrik (fosil dan non fosil) yaitu sebesar 64,5 GW

“Harga energi yang fluktuatif berdampak terhadap kebijakan yang perlu penyesuaian dengan cepat. Apabila tidak dilakukan berdampak terbelenggu
terhadap kebijakan yang dibuat dan menimbulkan keresahan di masyarakat,” tandas Sugeng.(RA)