JAKARTA – Pengeboran migas di wilayah Natuna harus tetap dilanjutkan. Pemerintah Indonesia diminta untuk tegas terhadap protes yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri China terkait kegiatan yang dilakukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang diawasi oleh pemerintah tersebut.

Hikmahanto Juwana, Pengamat Hubungan Internasional yang juga Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, menyatakan Protes ini tidak perlu ditanggapi oleh Pemerintah Indonesia. Justru Pemerintah Indonesia melalui Bakamla perlu melakukan pengamanan agar terlaksananya pengeboran di rig lepas pantai oleh perusahaan.

Dia menuturkan sikap pemerintah yang tegas tersebut wajar karena didasari empat alasan. Pertama, Indonesia tidak pernah mengakui sembilan garis putus yang diklaim oleh China di Laut China Selatan. “Sementara China melakukan protes terhadap Indonesia atas dasar klaim sembilan garis putus ini,” kata Hikmahanto kepada Dunia Energi, Jumat (3/12).

Selanjutnya China kata dia selama ini mengklaim sembilan garis putus yang menjorok ke Indonesia terkait sumber daya alam sebagai ‘traditional fishing ground’. Traditional fishing ground merujuk pada sumber daya laut yang berada di kolom laut, seperti ikan.

“Lalu mengapa China protes terkait aktifitas pengeboran sumber daya alam yang berada dibawah dasar laut? Apakah China dengan sembilan garis putus akan mengklaim sumber daya alam di dasar laut?,” kata Himahanto.

Alasan ketiga, menurut Hikmahanto dengan mengabaikan protes China berarti Indonesia terus dan tetap konsisten tidak mengakui klaim China atas sembilan garis putus.

Terakhir, adalah tepat bagi Indonesia untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di dasar laut tanpa menghiraukan protes China. “Hal ini karena Indonesia melaksanakan hak berdaulat atas Landas Kontinen Indonesia di Natuna Utara sesuai ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB,” tegas Hikmahanto.

Sebelumnya diberitakan bahwa pemerintah China menyerukan agar pemerintah Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas (Migas) di wilayah Laut Cina Selatan, yang dianggap kedua negara sebagai milik mereka. Demikian disampaikan empat sumber yang dilansir Reuters.com (1/12).

Permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan belum pernah dilaporkan ini memicu ketegangan kedua negara atas sumber daya alam di wilayah strategis dan ekonomi global yang bergejolak. Apalagi kegiatan pengeboran dilakukan di Laut Natuna Utara yang merupakan Zone Ekonoi Ekslusif Indonesia. (RI)