NEW YORK– Harga minyak mentah dunia naik sekitar 1% pada penutupan perdagangan Jumat atau Sabtu (30/3) pagi WIB, membukukan kenaikan kuartal terbesar dalam satu dasawarsa. Kenaikan harga itu ditopang sanksi-sanki AS terhadap Iran dan Venezuela serta pengurangan pasokan yang dipimpin Organisasi Negar-negara Pengekspor Minyak (OPEC) membayangi kekhawatiran atas perlambatan ekonomi global.
Minyak berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk penyerahan Mei naik US$84 sen atau 1,42%, menjadi berakhir pada US$60,14 per barel, dan membukukan kenaikan 32% pada periode Januari-Maret.
Kontrak berjangka minyak mentah Brent untuk penyerahan Mei yang berakhir Jumat (29/3), naik US$57 sen 0,8%, menjadi US$68,39 per barel, menandai kenaikan kuartal pertama sebesar 27%. Sementara kontrak Juni yang lebih aktif ditutup naik US$48 sen menjadi US$67,58 per barel.
Untuk kedua acuan minyak mentah Brent dan WTI, kenaikan kuartalan adalah yang terbesar sejak kuartal kedua 2009, ketika keduanya naik sekitar 40%.
Sanksi-sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela telah mengangkat harga-harga minyak tahun ini. Washington berkeinginan untuk melihat bahwa Malaysia, Singapura, dan lainnya sepenuhnya menyadari pengiriman minyak Iran dan taktik yang digunakan Iran untuk menghindari sanksi-sanksi adalah ilegal, kata seorang pejabat sanksi AS, Jumat (29/3).
Sigal Mandelker, Wakil Menteri Keuangan AS untuk urusan Terorisme dan Intelijen Keuangan, mengatakan kepada wartawan di Singapura bahwa Amerika Serikat telah memberikan “tekanan kuat” tambahan pada Iran minggu ini.
Sementara itu, AS telah menginstruksikan rumah-rumah perdagangan minyak dan penyuling-penyuling untuk lebih lanjut mengurangi transaksi dengan Venezuela atau menghadapi sanksi-sanksi mereka sendiri, sekalipun perdagangan tidak dilarang oleh sanksi-sanksi AS yang diterbitkan, tiga sumber yang akrab dengan masalah tersebut mengatakan.
“Dengan sanksi-sanksi AS mengeluarkan minyak Iran dan Venezuela dari pasar, pada saat yang sama produsen OPEC dan non-OPEC ingin melihat harga yang lebih tinggi dan saat ini enggan untuk menebus volume yang hilang,” kata Andrew Lipow, presiden Lipow Oil Associates di Houston seperti dikutip Reuters yang dilansir antaranews.com.
Hal yang juga mengangkat harga tahun ini adalah kesepakatan antara OPEC dan sekutunya seperti Rusia, untuk memangkas produksi sekitar 1,2 juta barel per hari, yang secara resmi dimulai pada Januari.
Negara-negara produsen akan bertemu pada Juni, tetapi beberapa keretakan muncul. Pemimpin OPEC Arab Saudi sedang berjuang untuk meyakinkan Rusia untuk tinggal lebih lama dalam pakta itu, dan Moskow mungkin hanya menyetujui perpanjangan tiga bulan, tiga sumber yang mengetahui masalah itu mengatakan.
Pasar juga telah didukung oleh pertumbuhan produksi yang lebih lambat di Amerika Serikat, di mana produksi telah stabil sejak pertengahan Februari. Pemerintah AS melaporkan pada Jumat (29/3) bahwa produksi domestik di produsen minyak mentah utama dunia itu sedikit menurun pada Januari menjadi 11,9 juta barel per hari.
Perusahaan-perusahaan energi AS minggu ini mengurangi jumlah rig minyak yang beroperasi ke level terendah dalam hampir setahun, pengurangan rig paling banyak dalam satu kuartal dalam tiga tahun, kata perusahaan jasa energi General Electric Co Baker Hughes.
Pasar berjangka telah tertekan oleh kekhawatiran bahwa perlambatan ekonomi global dapat menekan permintaan energi.
Pengeluaran konsumen AS rebound lebih rendah dari yang diperkirakan pada Januari dan pendapatan naik sedikit pada Februari.
Di tempat lain, tiga bank milik pemerintah China mencatat pertumbuhan laba kuartalan terlemah dalam lebih dari dua tahun.
Namun, bank Barclays memperkirakan harga minyak “kemungkinan akan bergerak masih lebih tinggi di kuartal kedua dan rata-rata US$73 per barel (US$65 untuk WTI), dan US$70 untuk tahun ini.”
Survei bulanan terhadap para ekonom dan analis oleh Reuters memperkirakan Brent akan mencapai rata-rata US$67,12 per barel pada 2019, sekitar 1% lebih tinggi dari survei sebelumnya rata-rata US$66,44. (RA)




Komentar Terbaru