JAKARTA – Pemerintah mulai melakukan uji coba perdagangan emisi karbon sektor energi. Uji coba tersebut juga menjadi salah satu kategori baru dalam penghargaan Subroto yang digelar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan sedikitnya ada 80 pembangkit listrik yang terlibat dalam upaya penurunan emisi karbon melalui perdagangan emisi karbon.

“Akan diujicobakan pada 80 pembangkit dengan kapasitas lebih dari 100 Megawatt (MW) dengan tujuan meingkatkan upaya mitigasi emisi karbon,” kata Dadan disela konferensi pers, Kamis (18/3).

Sektor energi menjadi sektor utama penyumbang emisi karbon. Untuk itu penurunan emisi karbon di sektor energi juga harus menjadi fokus. Pada tahun lalu sektor energi berkontribusi terhadap penurunan emisi 64 juta ton terdiri dari EBT 53%, efisiensi energi 20%, bahan bakar fosil rendah karbon 13%.

“Pemanfaatan teknologi pembangkit energi bersih 9% dan reklamasi lahan tambang 4%,” ungkap Dadan.

Menurut Dadan, untuk penerapan efisiensi energi 20% setara dengan penghematan energi dalam bentuk listrik 13,8 TWh. “Dan ini setara dengan biaya Rp15,4 triliun dengan kontribusi ke penurunan emisi gas rumah kaca GRK 12,9 juta ton,” ujar Dadan.

Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), menyambut baik langkah Kementerian ESDM yang mulai inisiatif melakukan uji coba perdagangan emisi karbon dan disisipi dalam penghargaan Subroto.

Saat ini aturan main perdagangan emisi karbon sedang disusun pemerintah. Adanya uji coba ini menjadi sarana yang baik untuk memastikan mekanisme yang tepat dalam perdagangan emisi karbon dalam upaya mengejar target pemerintah dalam menurunkan emisi karbon.

“Saya apresisasi uji coba mekanisme perdagangan karbon ini yang akan sangat membantu pengembangan  mekanise nasional setelah Peraturan Presiden (Perpres) tantang Emisi Gas Rumah Kaca terbit. Banyak pembelajaran yang bisa didapatkan dari penghargaan Subroto,” kata Siti.

Mekanisme perdagangan emisi karbon yang diusung yakni dengan menggunakan sistem insentif antar pelaku usaha dan oleh pemerintah, pelaku usaha yang kesulitan melakukan mitigasi perubahan iklim sendiri untuk mengurangi emisi secara sukarela berikan insentif ke pelaku usaha lain yang bisa kurangi tingkat emisinya dibawah batas tertentu yang diatur dalam standar emisi.

“Mekanisme ini bentuk instrumen nilai ekonomi karbon (carbon pricing), saat ini sudah dalam taraf final proses untuk terbitnya perpres tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target emisi dan pengendalian emisi karbon dalam pembangunan nasional,” kata Siti.(RI)