JAKARTA – Berdasarkan laporan dari United Nations (UN)-Habitat, 70% emisi gas rumah kaca (GRK) berasal dari aktivitas perkotaan (pemerintah daerah). Data tersebut menjadikan pemerintah daerah sebagai global hotspot dari perubahan iklim. Meskipun demikian, pemerintah daerah berpeluang besar menjadi pemimpin (leader) dalam membatasi dampak negatif perubahan iklim.

Pemerintah dianggap perlu menempatkan pemerintah daerah sebagai jantung strategi nasional dalam rangka mendukung komitmen nasional yang tertuang dalam Nationality Determined Contribution (NDC) dan menuju netral karbon di masa depan.
Dalam tataran implementasi, pemerintah nasional perlu memberikan perhatian dan dukungan kepada pemerintah daerah dengan menyiapkan perangkat pendukung (enabling environment) dan kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan iklim.

Upaya yang lebih serius dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus tergambar dalam Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terutama tingkat daerah. Dengan demikian, semakin banyak pemerintah daerah yang berkomitmen kuat mengimplementasi pembangunan daerah yang memperhatikan aspek sosial,
ekonomi dan lingkungan serta menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

ICLEI-Local Governments for Sustainability Indonesia (ICLEI Indonesia) meyakini bahwa pemerintah pusat dengan dukungan dari 34 Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan 514 Pemerintah Kota/Kabupaten (Pemkot/Pemkab) mampu mencapai karbon netral sebelum 2070
dengan memperkuat tata kelola multi level, khususnya pelibatan dewan perwakilan rakyat di tingkat nasional maupun daerah serta pelaku bisnis atau pihak swasta untuk menetapkan target
yang optimis dan lebih ambisius.

“Beberapa pemerintah daerah yang ICLEI Indonesia dampingi, kepala daerahnya telah berkomitmen untuk memerangi perubahan iklim, baik itu dari aksi adaptasi maupun mitigasi. Mereka yakin bahwa isu dan agenda perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan yang harus direspon secara positif,” ungkap Ari Mochamad, Country Manager ICLEI Indonesia, dalam diskusi virtual baru-baru ini.

ICLEI Indonesia merekomendasikan penyusunan perangkat pendukung secara sistematis, terstruktur, selalu
diperbaharui dan mudah dimengerti oleh pembaca dan/atau pengguna (utamanya staf pemerintah daerah) dari ragam latar belakang pendidikan.

Dukungan tersebut akan menjawab beberapa tantangan yang pemerintah daerah hadapi seperti, pertama lemahnya kapasitas sumber daya manusia dalam melakukan perhitungan pengurangan
emisi GRK dan/atau pemantauan terhadap tingkat adaptasi dan kerentanan serta kelembagaan yang menangani perubahan iklim secara umum masih bersifat ad-hoc.
Kedua, ketersediaan panduan dalam menerjemahkan strategi, rencana, program dan kegiatan yang bersifat transformatif serta pemilihan teknologi hijau yang tepat guna masih terbatas.

“Ketiga, belum adanya indikator yang seragam untuk melacak anggaran untuk program dan kegiatan yang sedang dijalankan serta kemudahan birokrasi dalam mengakses pembiayaan (hibah atau pinjaman) dari pihak ketiga,” kata Ari.(RA)