JAKARTA– Penetapan tarif listrik adjustment terhadap 12 golongan pelanggan harus dibatalkan karena melanggar konstitusi. Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengatakan penerapan tarif adjustment terhadap 12 golongan akan sama penerapannya dengan skema penetapan tarif bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi jenis pertamax yang dilakukan PT Pertamina (Persero).

YLKI mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mencabut Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2015 yang menjadi dasar kenaikan tarif otomatis oleh PT PLN (Persero). Menurut Tulus penetapan tarif adjustment menggunakan formulasi inflasi, rata-rata harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dan kurs dolar Amerika Serikat, atau sama dengan melepaskan tarif listrik ke pasar.

“Kami telah mengirim surat kepada pemerintah mengenai bahaya penerapan tarif adjustment yang saat ini diterapkan PLN kepada 12 golongan pelanggan,” katanya di Jakarta, Minggu.

Menurut Tulus penyesuaian tarif listrik ini melanggar konstitusi karena menyerahkan tarif listrik pada mekanisme pasar tanpa campur tangan negara. Padahal, menurut Tulus, listrik merupakan kebutuhan dasar yang harus diintervensi pemerintah.

Dia menduga penerapan penyesuaian tarif hanya sebagai batu loncatan untuk memprivatisasi PLN secara keseluruhan. Apalagi, dalam waktu dekat, golongan tarif 900 voltampere (VA) juga akan dicabut subsidinya. Itu berarti pelanggan tarif ini akan diterapkan tarif otomatis.

“Persoalan tarif listrik adalah masalah pasokan energi primer yang merupakan kesalahan pemerintah. Mengapa mesti ditimpakan kepada masyarakat untuk menanggungnya dengan wujud penyesuaian tarif,” ujar dia.

Riyanto Umar, Peneliti dari LPEM Universitas Indonesia, menilai ada sekitar 600 ribu masyarakat miskin yang masuk di golongan rumah tangga dengan daya 1.300 va dan 2.200 WA.

Dia mengaku kenaikan tarif listrik pada 1 Desember sebesar 11,6% masih lebih kecil jika dibandingkan pada kenaikan yang sebelumnya, sebesar 15%. “Kalau mau menaikan tarif, PLN seharusnya memindahkan pelanggan miskin dan rentan miskin ke kategori 900 VA,” katanya.

Satya W Yudha, Wakil Ketua Komisi Energi DPR, sebelumnya menyatakan kenaikan tarif listrik ini sangat memberatkan masyarakat, apalagi data masyarakat yang masih menerima subsidi masih simpang siur. Kenaikan tarif listrik ini terjadi karena PLN mulai mencabut subsidi dan memberlakukan mekanisme penyesuaian tarif (tariff adjustment) atau tidak mendapat subsidi lagi untuk pelanggan golongan rumah tangga berdaya 1.300 dan 2.200 VA. Padahal, menurut Satya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa belum ada kesiapan data orang miskin yang seharusnya masih mendapat subsidi listrik.

Sebanyak 12 golongan tarif listrik terkena penyesuaian. Mereka adalah Rumah Tangga R-l/Tegangan rendah (TR) daya 1.300 VA, Rumah Tangga R-1/T R daya 2.200 VA, Rumah Tangga R-2/TR daya 3.500 VA s.d 5500 VA, Rumah Tangga R~31T R daya 6.600 VA ke atas 5.

Lainnya adalah Bisnis B-2/T R daya 6.600VA sd 200 WA, Bisnis B-3/Tegangan Menengah (TM) daya diatas 200 kVA, industri l-3/TM daya diatas 200 kVA, industri l-4/Tegangan Tinggi (TT) daya 30.000 kVA ke atas, Kantor Pemerintah P-1/TR daya 6.600 VA s.d 200 kVA, Kantor Pemerintah P-2/T M daya di atas 200 kVA, Penerangan Jalan Umum P-3/T R dan layanan khusus TR/TM/TT. (RA/DR)