JAKARTA– Pemerintah diminta untuk tidak memberi peluang kepada perusahaan asing dan swasta lokal yang ingin mengembangkan bisnis avtur hanya di bandara-bandara besar dengan frekuensi penerbangan yang tinggi seperti bandara Soekarno-Hatta (Jakarta), Ngurah Rai (Denpasar), Djuanda (Surabaya), Kualanamu (Medan), Hasanuddin (Makassar), Sam Ratulangi (Menado), dan Hang Nadim (Batam).

Ugan Gandar, pengamat energi, mengatakan pemberian dukungan terhadap perusahaan asing atau swasta untuk berbisnis avtur khususnya di bandara bandara besar atau bandara ‘basah’ saja ini akan dimaklumi publik sebagai usaha ‘mengkerdilkan’ BUMN milik bangsa, yaitu PT Pertamina (Persero). Jika perusahaan asing dan swasta lokal mengincar bisnis avtur hanya di daerah ‘basah’ dan tak mau investasi avtur untuk bandara kecil yang ada di Papua, Maluku, Nusa Tenggara dan lainnya, pemerintah harus tegas menolak kehadiran mereka.

“Jika pemerintah membuka dan memberi kesempatan pihak asing atau swasta berbisnis avtur di negeri ini hanya pada bandara bandara ‘basah’ saja, pemerintahpun harusnya tidak melarang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ketika Pertamina menghentikan bisnis dan penyaluran avtur di bandara bandara kecil di seluruh negeri ini,” ujar Ugan dalam keterangan tertulis yang diterima Dunia-Energi, (Sabtu 23/9).

Menurut Ugan, penyediaan dan penyaluran avtur dinegeri ini oleh BUMN, harusnya dipahami sebagai kedaulatan bangsa atas migas dan bukannya sebagai bisnis semata. Apalagi selama ini penyediaan dan penyaluran avtur, bahan bakar untuk pesawat udara di negeri ini, selama ini dilakukan oleh Pertamina.

“Ketika masih bernama Permina, Pertamina telah merintis usaha penyediaan dan penyaluran bahan bakar avtur sejak puluhan tahun lamanya. Sebelumnya, usaha ini tidak dilirik sama sekali oleh badan usaha perusahaan apapun karena dulu usaha ini adalah bisnis yang tidak menguntungkan buat pengusaha,” katanya.

 

 

Ugan Gandar

Baik saat bernama Pertamina atau kini Permina, lanjut Ugan, perusahaan menyalurkan avtur lebih karena menjalankan misi pemerintah ketimbang mengejar keuntungan. Hal ini terbukti dari peran Pertamina dalam menyediakan avtur di bandara perintis dan bandara-bandara kecil di daerah terpencil dan terluar yang secara bisnis sangat tidak menguntungkan bagi perusahaan.

Menurut Udar, jika harga jual avtur oleh Pertamina lebih mahal dari harga jual di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, ini harusnya dipahami ada faktor penyebab yang berbeda antara Indonesia dan negara-negara tersebut. Dia mencontohkan, luas wilayah yang ada yang berpengaruh terhadap ongkos angkut.

“Adanya beban PPn yang masuk dalam harga jual dan faktor faktor lainnya yang membuat harga avtur BUMN lebih tinggi dari harga di negara tersebut,” katanya.

Dia juga meminta Kementerian Perhubungan bersikap tegas dengan menunjukan keberpihakan dan dukungan penuh terhada perusahaan milik negara misalnya dengan mensyaratkan jika pihak asing atau swasta ingin berbisnis avtur di Indonesia, mereka misalnya diharuskan membangun kilang untuk mengolah avtur di Indonesia dan membeli minyak mentahnya dari Indonesia pula.

“Pemerintah harusnya pula mensyaratkan pihak asing atau swasta juga wajib menyediakan avtur diseluruh bandara yang ada di Indonesia bukan hanya bandara-bandara ‘basah’ saja,” ujarnya.

Berdasarkan data Pertamina, stok avtur saat ini cukup untuk 22 hari kedepan dengan jumlah stok sekitar 303.000 kiloliter. Semenara konsumsi avtur sekitar 14.000-an kiloliter per hari. (DR)