JAKARTA- Keputusan Mahkamah Agung (MA) terhadap Bachtiar Abdul Fatah, karyawan Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam kasus bioremediasi, dianggap mencederai rasa keadilan. Selain itu, keputusan itu juga berdampak terhadap ketidakpastian hukum, membuat karyawan CPI lainnya tidak nyaman dan khawatir dalam menjalankan tugas mereka. Pengelolaan limbah melalui teknik bioremediasi pun.

“Kami menghormati keputusan MA. Tapi harus diakui kasus ini memberikan dampak yang besar terhadap kelangsungan aktivitas usaha terutama terkait kenyamanan karyawan dalam menjalankan aktivitas mereka, “ ujar . Sekretaris Satuan Kerja Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Gde Pradnyana Sekretaris Satuan Kerja Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Gde Pradnyana

Jika kenyamanan karyawan terganggu, maka akan berpengaruh terhadap kelangsungan produksi. Padahal, kegiatan produksi, harus terus jalan, apalagi Chevron merupakan KKS yang memberikan kontribusi besar terhadap produksi minyak nasional. Karena itu SKK berharap, karyawan Chevron lainnya tetap tenang dan tidak terpengaruh terhadap keputusan MA. Selama karyawan patuh dan menjalankan kegiatan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Karena itu, dalam waktu dekat, SKK akan segera ke lapangan menemui karyawan Chevron dan memastikan bahwa kegiatan hulu migas di Chevron tetap berjalan dengan baik. “Secepatnya (ke lapangan). Kami sedang mencari waktu yang sesuai untuk ke lapangan,” ujar Gde.

Sementara soal pengelolaan limbah megggunakan teknik bioremediasi, Gde mengungkapkan bahwa persoalan ini merupakan masalah yang cukup dilematis. Satu sisi, kegiatan produksi harus tetap jalan, tetapi di sisi lain, jika menggunakan teknik bioremediasi, dikhawatirkan akan menghadapi persoalan baru.“‘Kami masih mencari pola yang tepat terkait hal ini,” ujar Gde lagi.
Sampai saat ini, ujar Gde, limbah minyak yang dihasilkan dari operasional di Chevron masih ditampung dan belum dilakukan pengelolaan.

Hal senada disampaikan President Director PT Chevron Pacific Indonesia , Albert Simanjutak. Menurutnya, akibat keputusan itu, kini karyawan Chevron di lapangan menjadi tidak tenang dalam menjalankan aktivitas mereka. Karena itu manajemen Chevron akan terus berupaya meyakinkan kepada karyawan untuk tetap menjalankan kegiatan migas sesuai dengan ketentuan yang ada. Tetap berkomitmen pada tanggungjawab terhadap lingkungan dan melaksanakan kegiatan dengan efektif.“Karyawan kita ada 7 ribu dan kontraktor ada 28 ribu. Ini bukan pekerjaan mudah meyakinkan mereka agar tetap tenang dan komit dalam menjalankan tugas mereka,” ungkapnya.

Lebih jauh ia mengatakan bahwa, keputusan MA terhadap Abchtiar Abdul Fatah, memang memberi dampak yang cukup besar. Chevron menghormati keputusan hukum, namun menurutnya, pihaknya yakin, Bachtiar dan kawan-kawan tidak pantas untuk dijatuhi hukuman seperti yang dialami, karena mereka yakin tidak ada bukti yang kredibel soal korupsi, tindakan kriminal atau keuntungan pribadi yang dilakukan oleh Bachtiar dan rekan-rekannya.
“Bachtiar adalah karyawan yang kompeten dan berpengalaman. Dia melakukan tugasnya secara baik dan benar, menjalankan komitmen perusahaan terhadap peraturan lingkungan, dengan teknologi yang telah dipakai secara luas di industri migas dan disetujui oleh pihak yang berwenang,” jelasnya dalam keterangan kepada Media, akhir pekan lalu.

Dari kesaksian tim ahli juga pemerinatahan terkait selama persidangan, menunjukan bahwa kegiatan bioremediasi merupakan kegiatan yang umum dipakai di industri migas, bukan kegiatan fiktif dan tidak terbukti. Apalagi, sesuai ketentuan dalam PSC, kegiatan hulu migas masuk di ranah perdata, bukan pidana. Karena itu, ketika kasus bioremediasi ditarik ke ranah pidana, menimbulkan tanda tanya.

Cehvron lanjut Albert, terus mendukung Bachtiar untuk mencari keadilan dan membuktikan bahwa kegiatan beioremediasi yang dilakukan tidak menyalahi ketentuan dan tidak merugikan negara. “Karena itu, kami mendukung upaya Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan Bachtiar dalam mencari jalan keadilan di negeri ini,” ungkapnya lagi.

Todung Mulya Lubis, Kuasa hukum Bachtiar Abdul Fatah dengan tegas mengatakan, keputusan MA terhadap Bachtiar telah melukai dan mencedarai rasa keadilan. Dalam nada kecewa, Todung mengtakan, keputusan itu merupakan bentuk kriminalisasi korporasi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.”Secara legal dan secara akal sehat kami tidak menerima. Itu melukai asas keadilan kita semua. Ini kriminalisasi perusahaan,” ujarnya.

Dia menjelaskan, kasus proyek Bioremediasi yang menjerat karyawan Chevron sangat janggal. Pasalnya, Chevron merasa tidak pernah ada kerugian negara sedikitpun yang dilakukan oleh karyawannya. “Seratus persen proyek Bioremediasi didanai oleh Chevron. Tidak ada sama sekali uang negara,” kata Todung.

Sebagai advokat dan juga aktivis anti korupsi, Todung yang juga pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), sejak awal sudah berjanji tidak akan menangani kasus korupsi. Namun untuk kasus bioremediasi, ia mempertaruhkan reputasi pribadi dan komitmennya terhadap gerakan anti korupsi bahwa kegiatan bioremediasi bukanlah kegiatan tindak pidana korupsi.

Todung menyebut keputusan MA terhadap Bachtiar adalah musibah karena tidak dilandasi bukti dan fakta yang kuat. Seharusnya jika tidak ada bukti, maka kasus ini tidak ada. Tetapi tetap dipaksakan. “Tanpa fakta dan alat bukti, tetapi saudara Bachtiar dihukum bersalah. Ini benar-benar mengabaikan akal sehat, mencedarai rasa keadilan,” ungkapnya.

Todung menganggap hakim lalai dalam memutuskan kasus ini. Dengan menganut prinsip bahwa putusan hakim yang adil harus dihormati dan putusan hakim yang tidak adil harus disanggah. Karena itu, tim kuasa hukum setelah berdikasui dengan Bachtiar Abdul Fatah akan segera dilakukan upaya hukum berikutnya yaitu Peninjaun Kembali (PK).
“Akan segera (PK) diajukan,” ungkapnya singkat.

Baik Albert maupun Todung mengatakan, keputusan yang tidak adil dan mencedarai rasa keadilan juga tidak adanya kepastian hukum, seperti yang dialami Bachtiar, juga berpengaruh terhadap investasi di sektor migas. Padahal, saat ini Indonesia masih terus mengupayakan iklim investasi yang rah baik di sektor migas maupun sektor-sektor lainnya. Todung bahkan mengatakan, agar para hakim atau Jaksa selain memiliki latar hukum juga perlu dibekali pengetahuan bisnis dan usaha sehingga dalam memberikan keputusan juga memperhatikan aspek-aspek bisnis dengan tetap mengedepankan keadilan hukum.