JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sector energi terintegrasi, mengklaim telah menyatukan rantai bisnis gas dari hulu ke hilir untuk menjamin monetisasi aset dan optimasi produksi hulu. Karena 85% gas produksi Indonesia adalah gas associated, monetisasinya harus bersamaan dengan monetisasi minyak.

“Ini sangat bergantung pada akses ke infrastruktur di level menengah (mid-stream) dan hilir (downstream),” ujar Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina di Jakarta, Sabtu.

Menurut Wianda, Pertamina telah berinvestasi cukup signifikan dalam pembangunan pipa transmisi demi menjamin monetisasi cadangan hulu dan optimasi produksi gas nasional. Di hulu (upstream), perseroan mengoperasikan sejumlah ladang gas dengan produksi rata-rata sebesar 1.700 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Bahkan, Pertamina pada 2018 akan menjadi operator sekaligus pemegang hak partisipasi terbesar di blok gas terbesar di Indonesia, Blok Mahakam di Kalimantan Timur.

“Kami juga menjalankan bisnis gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) baik untuk pasar domestik maupun internasional,” katanya.

Pertamina bersama mitra dari luar negeri dan lokal juga mengoperasikan PT Donggi Senoro LNG (DSLNG) yang memproduksi LNG. DSLNG tercatat mendapat pasokan gas alam dari PT Pertamina EP area Matindok, PT Pertamina Hulu Energi Tomori Sulawesi, dan perusahaan lainnya.

Sementara itu untuk midstream, tambah Wianda, Pertamina memiliki dan mengoperasikan kilang penerima LNG melalui anak usahanya, PT Nusantara Regas. Pertamina menguasai 60% saham PT Nusantara Regas dan 40% sisanya dikuasai badan usaha lainnya. Perusahaan juga mengoperasikan kilang-kilang LPG yang dioperasikan PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur.

“Kami bersama mitra juga mengoperasikan LPG Plant di Sumatera dan LPG Plant Mundu, Indramayu, Jawa Barat selain jaringan pipa transmisi dan distribusi melalui PT Pertamina Gas (Pertagas),” katanya.

Mata Rantai Gas Pertamina

Untuk downstream, Pertamina mendistribusikan gas ke berbagai sektor mulai listrik, pupuk hingga industri dan mendistribusikan LPG domestik, baik dalam bentuk penugasan pemerintah (public service obligation/PSO) maupun non-PSO.

Achmad Widjaja, praktisi industri pengguna gas nasional, menilai Pertamina sebenarnya sudah mempunyai unit usaha yang terintegrasi, termasuk di sektor gas mulai dari hulu sampai ke hilir. Karena itu, pemerintah harus terus mendorong Pertamina mengoptimalkan pemanfaatan gas secara lebih maksimal. Apalagi bisnis gas perseroan sudah terintegrasi sehingga dari sisi pasokan gas sudah terjamin.

Pertamina menurut Achmad hanya tinggal meningkatkan lagi ketersediaan infrastruktur. Sebagai BUMN energi yang 100% sahamnya dimiliki pemerintah, sangat wajar bila pemerintah memberikan dukungan penuh kepada Pertamina dalam pemanfaatan gas dari hulu-hilir untuk kepentingan nasional.

“Dengan penguasaan terhadap Blok Mahakam dan Masela, yang notabene ladang gas terbesar, Pertamina akan memiliki jaminan pasokan gas yang lebih besar lagi,” ujarnya.

Ibrahim Hasyim, pengamat migas, mengatakan dengan harga minyak yang sangat rendah dibutuhkan banyak inisiatif dan membuat bermacam inovasi, salah satunya inovasi terhadap proses bisnis. Proses bisnis yang dahulu memisahkan hulu dan hilir menyebabkan lebih kompleks dan harga lebih mahal harus diubah. Bisnis hulu dan hilir gas harus digabungkan untuk membuat proses bisnis lebih efisien.

“Dengan menguasai proses hulu hilir, inilah kesempatan besar bagi Pertamina guna mendorong pemanfaatan gas dalam negeri,” kata dia.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan pada umumnya penguasaan bisnis dari hulu dan hilir akan lebih murah biayanya. Dengan demikian Pertamina berpotensi semakin besar karena bisnis hulu dan hilirnya bisa disinergikan. (RA/EA/*)