JAKARTA – Arah pembahasan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas hingga saat ini masih belum jelas. Padahal seharusnya RUU Migas bisa disinkronisasikan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Arif Budimanta, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), mengatakan dalam RUEN sudah ada perencanaan proporsi penggunaan energi, termasuk minyak dan gas bumi ke depan.

“Jadi revisi UU Migas itu harus lihat dengan RUEN, proyeksi penurunan terhadap permainan energi fosil dalam menuju 2025 atau 2050 yang akan datang,” kata Arif dalam seminar “Revisi UU Migas” di Jakarta, Rabu (25/10).

Pemerintah dalam RUEN sebenarnya telah mengatur perencanaan pemanfaatan energi dimana ada pengurangan minyak dan gas bumi dan digantikan energi lain. Jika saat ini porsi penggunaan minyak sebesar 46%, maka batu bara dan gas bumi 26% dan 23%. Sisanya sebanyak 5% adalah Energi Baru dan Terbarukan. Maka porsi tersebut akan berubah pada 2025, yakni minyak sebesar 25%, gas sebesar 22%, batu bara 30% dan EBT 23%.

Sementara penggunaan minyak dan gas terus ditekan pada 2050, yakni sebesar minyak dan gas bumi masing-masing sebesar 20% dan 24%. Untuk batu bara dan EBT sebesar 25% dan 31%. Kehadiran RUEN bisa dilihat melalui konsumsi minyak yang berhasil ditekan dan gas ditingkatkan. Arah kebijakan dalam UU Migas yang baru juga harus bisa merefleksikan rencana tersebut.

“Karena itu kalau revisi UU ini (migas), maka harus dikaitkan dengan RUEN,” tukas Arif.

Taslim Z. Yunus Kepala Pengawas Internal Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), mengatakan kondisi pengaturan untuk sektor hulu migas tetap diperlukan ke depannya apa lagi masih ada porsi gas yang direncanakan atau diperkirakan juga akan meningkat penggunaannya.

Kepastian hukum masih sangat diperlukan ke depan, salah satunya adalah UU Migas baru. Adanya kepastian hukum diharapkan mampu merangsang para pelaku usaha untuk berinvestasi sehingga produksi migas bisa terjaga. Apalagi pemerintah berniat untuk menjadikan migas tidak lagi sebagai sumber penerimaan negara akan tetap motor penggerak ekonomi. Akan sangat tidak relevan jika bahan baku penggerak ekonomi didapatkan dari luar negeri atau melalui mekanisme impor.

“Pada periode 1980-2016 itu eksplorasi minyak dan gas baru turun drastis. Ini adalah sangat tergantung pada eksplorasi ini kita bermain di bisnis seperti ini, kata Taslim.

Menurut Fanshurullah Asa, Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas, sektor hilir migas akan tetap ada, bahkan jika memang RUEN bisa terimplementasi pada 2050 mendatang. Apalagi dengan pengaturan pemanfaatan EBT yang masih belum jelas sampai saat ini.

Pola tata kelola industri hilir migas harus disiapkan dari sekarang jangan sampai ketika ada perubahan pola konsumsi dan pemanfaatan migas baru dibuat regulasi untuk mengaturnya secara terburu-buru.

“Kalau kita bicara tadi RUEN 2050 sekalipun tetap ada prosi migas,jadi mau bagaimana nanti polanya harus dirumuskan,” tandas Fanshurullah.(RI)