Dari kiri: Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara, Pemimpin Redaksi Dunia Energi Hidayat Tantan (Moderator), Guru Besar Hukum Pertanahan UI Prof Arie Sukanti Hutagalung SH MLI, dan Kepala Pokja Formalitas SKK Migas Hanif Rusjdi dalam FGD “Implikasi UU Pengadaan Tanah Bagi Kinerja Sektor Migas” di Jakarta, Senin, 15 April 2013.

JAKARTA – Hadirnya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ternyata belum menjawab persoalan terkait pengadaan lahan bagi aktivitas pembangunan. Justru penerapan UU itu berpotensi menimbulkan sejumlah masalah bagi peningkatan kinerja sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).

Hal ini terungkap dalam Focuss Group Discussion (FGD) bertema “Implikasi UU Pengadaan Tanah Terhadap Pelaksanaan Kegiatan dan Peningkatan Kinerja Sektor Hulu Migas” di Jakarta, Senin, 15 April 2013. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu Guru Besar Hukum Pertanahan Universitas Indonesia (UI) Prof Arie Sukanti Hutagalung, SH, MLI, Kepala Kelompok Kerja Formalitas SKK Migas Hanif Rusjdi, dan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara.

Dalam FGD itu Arie Sukantie mengungkapkan, latar belakang disusunnya UU 2/2012 itu cukup politis, terkait kepentingan sejumlah politisi dalam bisnis pembangunan sejumlah infrastruktur, utamanya jalan tol. Di sisi lain, UU 2/2012 juga disusun dengan melibatkan pendanaan dari lembaga asing, diantaranya Asian Development Bank (ADB) demi memperlancar sejumlah proyek infrastruktur di Indonesia.

Harus diakui, kata Arie, UU 2/2012 tentang pengadaan tanah memberikan suatu kemajuan, dalam perolehan lahan untuk kepentingan pembangunan. Yakni tenggat waktu pembebasan lahan yang tadinya nyaris tak terbatas karena panjangnya negosiasi, dibatasi menjadi maksimal 572 hari kerja atau dua tahun, sudah harus sampai tahap penyerahan tanah.

Namun yang berpotensi menimbulkan masalah ialah budaya hukum dan budaya kerja birokrasi di Indonesia, yang belum cukup menunjang proses yang cepat. “Sampai saat ini, kita masih akrab dengan budaya kerja birokrasi yang kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat? Jadi dalam konteks ini, yang salah bukan Undang-undangnya, melainkan yang melaksanakan UU,” kata Arie.

Situasi ini memang cukup menyulitkan sektor hulu migas, yang saat ini sedang didorong untuk meningkatkan kinerja khususnya dalam eksplorasi dan produksi. Karena sebelum ada pelepasan atau penyerahan lahan, maka belum bisa dikatakan sebagai tanah negara.

Pemilik tanah bisa sewaktu-waktu menggugat aktivitas di atas lahan yang bersangkutan. Sementara pelaku usaha hulu migas, saat ini ditarget oleh SKK Migas untuk melaksanakan pengeboran 2.000 sumur sepanjang 2013. 

“Jalan keluar yang kami usulkan kepada pelaku industri migas, ialah tanah yang akan dilepaskan disewa dulu, sehingga aktivitas hulu migas di atasnya dapat dilaksanakan sembari menunggu proses pelepasan. Atau pelaku usaha bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika terjadi keterlambatan dalam setiap tahapan proses pengadaan tanah,” jelas Arie.

Potensi Moral Hazard

Potensi persoalan lainnya, lanjut Arie, ialah ditunjuknya Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai penyelenggara dalam tahap pelaksanaan pengadaan tanah, dengan pelaksananya Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN. Sementara dalam tahap persiapan pengadaan tanah, ketua pelaksananya adalah bupati/walikota. Pembagian tugas ini menurutnya terbalik dan tidak fungsional.

Mestinya BPN terlibat sebagai ketua pelaksana dalam tahap persiapan, karena yang diperlukan dari BPN adalah peta tanah. Sedangkan di tingkat pelaksanaan pengadaan tanah, bupati/walikota sebagai pelaksananya.

“Kalau dalam tahap pelaksanaan pengadaan tanah semuanya ditangani BPN, apakah sanggup? Dalam tahap ini justru yang dibutuhkan pemerintah daerah guna mengkoordinasikan organ atau instansi lain, termasuk BPN secara vertikal,” tukas Arie Sukanti.

Dalam kesempatan ini, Marwan Batubara mencermati potensi adanya “moral hazard” (penyalahgunaan wewenang, red) dalam keseluruhan proses pengadaan tanah, karena begitu banyaknya instansi yang terlibat di dalamnya, serta pelaksana yang berganti-ganti di setiap tahapan.

Untuk menghindari ini, Pemerintah Pusat dan Daerah harus menjamin proses pengadaan tanah sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik: transparan, akuntabel, efisien, efektif, proaktif, profesional, partisipatif, taat hukum dan berwawasan ke depan.

“Pemerintah melalui lembaga terkait perlu menyusun prosedur standar yang digunakan (Gubernur & Kepala Kanwil BPN) untuk proses pengadaan tanah untuk kegiatan migas. Juga menerbitkan peraturan khusus pengadaan tanah bagi sektor hulu migas yang konsisten dengan Pasal 7 UU No.2/2012 tentang batas waktu maksimal pengadaan tanah,” ujar Marwan.

Hulu Migas Diistimewakan

Dalam kesempatan yang sama, Hanif Rusjdi menuturkan bahwa sektor hulu migas masih perlu menguji efektivitas UU 2/2012. Di antara berbagai kelemahan yang masih muncul dari UU itu, menurutnya sektor hulu migas sudah mendapatkan keistimewaan.

Diantaranya dalam tahap persiapan pengadaan tanah, sektor hulu migas tidak diharuskan melampirkan Rancangan Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW). Namun hanya diminta menyiapkan Perencanaan Strategis dan Rencana Kerja, yang itu sudah tertuang dalam dokumen Plan of Development (POD) masing-masing kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) migas.

Hanif menambahkan, sejak UU 2/2012 diterbitkan tahun lalu, Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) juga telah melakukan sosialisasi tentang aturan baru pengadaan tanah, yang tertuang dalam UU tersebut.

Sebagai antisipasi waktu pelepasan tanah yang maksimal mencapai dua tahun, sementara tahun ini KKKS diwajibkan melakukan pemboran 2.000 sumur, maka SKK Migas telah menerapkan mekanisme “sewa-beli” untuk tanah yang akan dilepaskan bagi kepentingan sektor hulu migas.     

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)