JAKARTA – Kilang-kilang di Indonesia sebagian besar sudah berumur 20 hingga 30 tahun. Akibatnya, produk olahan bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan lebih mahal dibanding produk impor.

Abadi Poernomo, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), mengatakan peningkatan kapasitas dan kemampuan kilang (upgrading) dengan teknologi yang lebih baik akan membuat kilang lebih efisiensi dan produknya berupa BBM bisa lebih murah.

“Ini terkait erat dengan produk akhir berupa BBM yang lebih baik dan bisa lebih murah. karena jika dilihat sekarang ini sebenarnya harga BBM hasil olahan dalam negeri dengan harga BBM yang diimpor itu lebih murah yang berasal dari impor,” ungkap Abadi, Sabtu.

Selain itu, lanjut dia, akibat memiliki dan mengelola kilang yang sudah sangat marginal, PT Pertamina (Persero) justru tidak mendapat keuntungan.

Abadi mengatakan, teknologi untuk upgrading sebenarnya sudah sangat banyak tersedia di pasar, sehingga tidak perlu lagi melakukan riset dan pengembangan.

“Tinggal bagaimana kita mencari yang sesuai dengan kebutuhan. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), kalau tidak salah kita rencanakan untuk mengupgrade empat kilang yang ada dan membangun empat kilang baru,” tandas dia.

Kilang-kilang Pertamina saat ini memiliki Nielsen Index Complexity (NCI) yang relatif rendah, yaitu rata-rata 5-6. Perseroan melalui program dan proyek peningkatan kapasitas kilang menargetkan meningkatkan NCI menjadi rata-rata 9. Bahkan, untuk kilang Refinery IV Cilacap sebelum beroperasinya unit Residuel Fluid Catalytic Cracker (RFCC) nilai NCI masih di level 3 sehingga kandungan residunya cukup tinggi.

NCI kilang Pertamina akan meningkat secara bertahap seiring mulai dengan masuknya RFCC, lalu Program Langit Biru Cilacap, dan dilanjutkan dengan RDMP yang head of agreement (HoA)-nya akan segera ditandatangani antara Pertamina dan Saudi Aramco pada bulan ini.

RFCC unit merupakan teknologi yang memanfaatkan katalis untuk mengkonversi minyak berat atau residu, baik atmosferik maupun vacuum residue oils, menjadi produk yang lebih bernilai, utamanya gasoline dan beberapa produk lainnya, seperti LPG dan propylene. RFCC merupakan bagian dari road map pengembangan kilang Pertamina untuk memenuhi kebutuhan pasar dan tuntutan teknologi kendaraan di masa mendatang. RFCC nantinya meningkatkan produksi premium dari kilang Cilacap menjadi 91.000 barel per hari (bph) dari sebelumnya 61.000 bph dengan memanfaatkan residu dari unit-unit pengolahan yang ada sebelumnya.

“Apabila nanti proyek PLBC sudah tuntas, maka seluruh produk gasoline sebanyak 91.000 barel per hari dari Kilang Cilacap akan berupa pertamax RON 92,” kata Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina.(AT)