Persidangan kasus bioremediasi.

Persidangan kasus bioremediasi.

JAKARTA – Sidang pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat, 14 Juni 2013. Terdakwa Widodo, karyawan CPI, dituduh bersalah oleh JPU dan dituntut hukuman 7 tahun penjara dikurangi masa tahanan, serta denda sebesar Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.

Dimintai tanggapannya terkait tuntutan JPU kepada Widodo ini, penasehat hukum karyawan CPI, Maqdir Ismail menilai tuntutan jaksa itu hanya didasarkan pada keterangan-keterangan yang ditambal sulam, termasuk dari BAP (Berita Acara Pemeriksaan) ketiga ahli Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mirip “copy paste” karena sama persis kata-kata, kalimat, hingga titik dan komanya.  

“Jurus tambal sulam ini digunakan jaksa, agar terkesan ada hubungannya antara Widodo dengan dugaan korupsi yang dituduhkan. Semuanya tampak dipaksakan,” ujar Maqdir. Padahal, lanjutnya, suatu tindakan pidana yang dituduhkan pada seseorang, harus bisa ditentukan secara jelas dan kasat mata. Apakah yang telah dilakukannya mengandung indikasi niat, serta berkorelasi nyata dan terukur terhadap hasil perbuatannya. “Tak boleh karena prasangka dan asumsi-asumsi,” tukasnya.

Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan Widodo bersalah, karena dianggap tidak melakukan pekerjaannya dengan baik, dalam memantau pekerjaan kontraktor CPI yang mengerjakan proyek bioremediasi. Widodo dinilai jaksa telah membiarkan kontraktor bekerja dalam proyek bioremediasi, padahal caranya tidak sesuai dengan Kepmen LH 128/2003. Widodo juga dianggap tahu bahwa kontraktor tidak memiliki izin, namun dibiarkan terus mengerjakan proyek bioremediasi.

“Jika jaksa mendasarkan tuntutannya kepada kinerja Widodo sebagai karyawan, tentunya atasan Widodo yang berhak menilai, apakah Widodo sudah bekerja sesuai harapan perusahaan atau tidak. Jadi bukan jaksa yang menilai,” ujar Maqdir.

Mengingat selama ini CPI atau atasan Widodo tidak pernah mempersoalkan kinerja Widodo terkait pelaksanaan proyek bioremediasi yang diawasinya, maka menurut Maqdir tuduhan jaksa itu harusnya ditujukan kepada perusahaan, mengingat proyek bioremediasi ini adalah proyek perusahaan.

Maqdir juga menegaskan, pelaksanaan pengolahan  bioremediasi di CPI yang diawasi oleh Widodo dan timnya, telah mengikuti SOP (standard operating procedure)  yang ditetapkan CPI. SOP bioremediasi CPI ini, merupakan hasil pengujian dan penelitian panjang sejak 1994, yang telah mendapatkan izin dari KLH untuk penggunaan teknologinya pada 2002, serta sudah sesuai dengan Kepmen LH 128/2003.

“Jika jaksa menilai ada yang salah dengan tata cara dalam pelaksanaan bioremediasi ini maka pertama, jaksa harus berkoordinasi dengan KLH sebagai pihak yang berwenang sesuai undang-undang untuk menentukan pelanggaran di bidang lingkungan. Kedua, pihak yang harus dimintai keterangan adalah CPI sebagai yang berkewajiban mengolah limbah minyak sesuai dengan peraturan,” tegas Maqdir.

Mestinya Gunakan UU Lingkungan

Maqdir menambahkan, karena dasar tuntutan jaksa sudah jelas menyangkut proses bioremediasi yang diatur dalam Kepmen LH 123/2008, juga soal pelanggaran perizinan pengolahan limbah oleh kontraktor yang diatur dalam PP 18/1999, mestinya jaksa memeriksa kasus ini sebagai pelanggaran peraturan lingkungan. “Mestinya yang digunakan UU lingkungan, bukan UU tipikor,” ujar Maqdir.

Kontraktor CPI, menurut Maqdir,  bekerja berdasarkan kontrak proyek bioremediasi. Sementara terdakwa Widodo sesuai jabatannya, tidak berwenang untuk menjalankan, bernegosiasi atau menandatangani kontrak-kontrak ini.

“Sesuai posisi terdakwa di CPI, terdakwa hanya bertugas untuk memantau pekerjaan bioremediasi yang dilakukan oleh subkontraktor, agar sesuai dengan kontrak. Soal keikutsertaan terdakwa dalam proses tender proyek bioremediasi di SLS, tugas terdakwa hanya untuk memberikan keterangan mengenai hal-hal teknis pekerjaan yang ditenderkan kepada peserta. Widodo mendapat perintah untuk melakukan hal ini dari atasannya,” ungkap Maqdir.

Maqdir pun menjelaskan, dalam memantau pekerjaan kontraktor, Widodo menerima laporan mengenai hasil proyek bioremediasi di akhir siklus pekerjaan, dari stafnya yang bekerja di lapangan SBF. “Terdakwa sendiri tidak memiliki hubungan langsung dengan para subkontraktor yang mengerjakan proyek bioremediasi ini,” jelas Maqdir.

Widodo, lanjut Maqdir, tidak memiliki pengetahuan apa pun mengenai hal-hal seputar perizinan fasilitas pengolahan bioremediasi (SBF) serta tak bertanggung jawab atas hal-hal yang bersangkutan dengan perizinan subkontraktor.

“Adalah tanggung jawab perusahaan (CPI) untuk memastikan persoalan perizinan sebagai bagian dari kewajiban perusahaan yang telah digariskan dalam peraturan dan bukan tanggung jawab terdakwa,” pungkasnya.

Tidak Ada Pelanggaran Aturan

Maqdir pun mengingatkan, pada waktu sebelumnya di depan persidangan bioremediasi, Deputi Menteri IV KLH Bidang Pengelolaan B3, Masnellyarti Hilman, telah bersaksi bahwa proyek bioremediasi CPI sudah taat hukum. Masnellyarti juga menyebutkan, PT GPI maupun PT SGJ selaku kontraktor CPI yang membantu pengerjaaan bioremediasi, tidak perlu memiliki izin khusus sesuai Kepmen LH 128/2003 dan PP 18/1999.

Lebih lanjut Maqdir menegaskan, jika dalam kasus ini jaksa mengaitkan dengan proses pengadaan, maka sesuai dengan kontrak PSC dan PTK 007 BP Migas (sekarang SKK Migas) jaksa pun harus koordinasi dan mendengarkan penjelasan pejabat SKK Migas, sebagai institusi yang menerbitkan aturan tersebut dan berwenang menilai adanya pelanggaran.

“SKK Migas telah menyatakan bahwa proses tender CPI untuk proyek ini telah sesuai dengan PTK 007 dan petunjuk SKK Migas,” jelas Maqdir. Oleh karena itu, Maqdir menilai ada alasan lain jika jaksa ngotot berpedoman pada keterangan Edison Effendi.

Padahal sudah cukup terang terungkap di pengadilan bioremediasi, Edison Effendi adalah ahli yang sarat dengan konflik kepentingan, yang pernah dua kali gagal tender proyek bioremediasi di CPI, pernah mengancam karyawan CPI, dan pernah berbohong di muka persidangan.

“Semoga hakim akan arif dalam mengambil putusannya sehingga tidak ada korban lagi dari proses hukum yang ganjil ini,” harap Maqdir.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)