Tubagus Nasiruddin (Foto: Tatan Agus)

Tubagus Nasiruddin (Foto: Tatan Agus)

Tubagus Nasiruddin   masih trauma dengan suara. Sedikit saja terdengar bunyi aneh, tidurnya langsung terjaga “Apa terjadi lagi ya?  “ katanya lirih. Yang dimaksud terjadi lagi adalah blowout di sumur Talang Jimar, Prabumulih, Sumatera Selatan .  Ini  satu dari lima lapangan  di bawah asset 2 Pertamina EP, selain Limau, Pendopo, Adera, dan Prabumulih . Di penghujung  Maret lalu  salah satu sumur Talangjimar  yang sedang dibor mengalami kick  karena masuknya gas. Karena tekanan yang besar,  fluida itu mengalir sampai ke permukaan yang  mengakibatkan  blowout

Sebagai Kepala Teknik Tambang, GM Asset 2  Pertamina EP ini langsung memimpin penanganan  sumur berkode TLJ- 249 , biasa juga ditandai  dengan kode lokasi TLJ-25 INF. Hampir sebulan penuh  , bersama puluhan anak buahnya,  alumnus Petrokimia dari Universitas Indonesia itu mencoba menaklukkan  semburan gas liar  dari sumur peninggalan Belanda tersebut.

 Dalam dunia migas, blow out bukan sekali ini  terjadi. Di Indonesia seperti pernah diungkapkan Kepala SKK Migas, RudiRubiandini dalam 35 tahun terakhir setidaknya telah terjadi blowout sebanyak 17 kali, sehingga hampir setiap 2-3 tahun terjadi kecelakaan Blowout pada saat pengeboran sumur. Bila dibandingkan dengan kegiatan pemboran 300-350 sumur setiap tahun, maka berarti hampir setiap 1000 sumur pemboran terjadi 1 kali kecelakaan blowout. Seluruh kecelakaan blowout selalu dapat ditanggulangi, ada yang dengan cepat dan ada pula yang bisa berbulan-bulan.

Dibandingkan dengan kejadian-kejadian sebelumnya, kasus Talangjimar  terbilang unik. Bahkan boleh jadi yang pertama kali di dunia  “Saya  menyebutnya  3 D,” ujar Tubagus. Berikut petikan lengkap penuturan  Tubagus Nasiruddin (TN) kepada Dunia  Energi  (DE) beberapa waktu lalu :

DE: Apa yang membedakan blowout  Talangjimar dengan Blowout di tempat lain ?

TN: Kasus Tangjimar sangat unik, Saya menyebutnya 3 D, yakni dekat, dangkal, dan dahsyat.  Dekat karena blowout terjadi di wilayah yang dekat dengan penduduk, sedangkan blow out di tempat lain biasanya terjadi di wilayah yang jauh dengan pemukiman, Sumur  hanya berjarak sekitar 200 meter dengan rumah penduduk. Sedangkan dangkal karena blow our terjadi di kedalaman kurang dari 300 meter. Sedangkan di tempat lain, umumnya terjadi di tempat dalam dan jauh dari penduduk.   Semburannya  terbilang dahsyat. Suaranya bergemuruh. Dari jarak seratus meter gak bisa berkomunuikasi. Kita hanya menggunakan tulisan dan bahasa tubuh.

DE: Bisa diceritakan kronologis blowout Talangjimar ?

TN: Saya sedang di Jakarta. Kejadiannnya pada  31 Maret jam 09.00 pagi,  Setelah mendapat kabar  saya langsung terbang ke lokasi jam 1 siang sampai di  Prabumulih, langsung ke lokasi, Karena di lokasi gak bisa berkomunikasi karena  bising, kita putuskan untuk diskusi di kantor di Prabumulih, sekitar 3 kilometer dari lokasi kejadian.  Saya kumpulkan teman-teman dan langsung membentuk tim PKD (Penanggulangan Keadaan Darurat).  Tim saya bagi dua,  yakni penanganan masalah sosial, serta yang kedua untuk penanganan masalah teknis.

Saya langsung perintahkan evakuasi penduduk karena gas itu mudah terbakar, Apalagi gas yang keluar dari  sumur itu termasuk gas yang bagus.   Kalau terbakar, akan makan korban. Humas  alhamdulillah gerak cepat.  Semua penduduk ring 1  diungsikan ke komplek Pertamina,  yang berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi kejadian. Kita layani dengan baik.  Semua kebutuhannya kita sediakan.  Setiap hari kita siapkan 39 ribu bungkus nasi,  selain penampungan, kita siapkan sepuluh posko untuk mengecek kesiapan mereka.

DE: Bagaimana dengan penanganan teknis ?

TN: Penanganan teknis perlu usaha  yang lebih mendalam  Kita mencari data-data yang ada di daerah kita maupun di luar. Tim subsurface dan surface all out menyiapkan data-data yang diminta tim DD (Drilling Department) dan PDSI, Kita siapkan chemical untuk killing  sumur mapun pembuatan lumpur, serta pembuatan capping.  Kita all out  24 jam.  Selain menginjeksikan  lumpur, kita juga membuka sumur di sebelahnya yang berjarak sekitar 68 meter . Kita buka dengan hati-hati  , tembak ulang, alhamdulillah keluar sehingga tekanan berkurang.  Kemudian  kita buat capping, fungsinya untuk mengalirkan   gas ke arah yang lebih aman, lebih jauh, 45 meter, sehingga gas tidak terakumulasi di dalam sumur.

DE: Capping itu kan umumnya vertikal ?

TN: Iya, ini mungkin yang pertama di dunia capping dibuat horizontal. Biasanya kan dari atas ke bawah. Capping ini  didesain kawan-kawan kita dari Departemen Driling dan PDSI. Dengan capping itu semburan  gas yang tadinya kemana-mana, dilokalisasi sehingga lebih mudah mengukur  tekanannya.  Dengan diketahui tekanannya, lumpur yang  harus disiapkan untuk killing ketahuan ukurannya berapa. Alhamdulillah, setelah satu bulan, blow out bisa diatasi.

DE: Jadi, sebetulnya apa yang menyebabkan blowout Talangjimar ?

TN: Diperkirakan karena gas charging atau gas yang terakumulasi dari bawah.  Sumur itu sudah dibor Belanda pada 1953. Saat itu, Belanda hanya cari minyak. Begitu tahu ada gas, pengeboran langsung dihentikan, lubangnya  sumur disemen. Diperkirakan penyemenan juga seadanya sehingga gas terus keluar  dan terakumulasi selama  50 tahun pada kedalaman 300 meter. Seperti balon, begitu tersentuh bor, langsung meletup.

DE: Hikmah apa yang bisa diambil dari blowout Talangjimar ?

TN: Mudah-mudahan musibah  ini membawa hikmah.  Bom waktunya sudah tidak ada lagi. Kalupun ada paling tinggal sisa yang gampang dikelola. Soalnya di struktur itu, kita merencanakan tiga pengeboran lagi. Gas yang masih keluar dari sumur itu sekarang  disalurkan untuk power plant (pembangkit listrik) sekitar 1,6 mmcf. Ke depan perusahan akan memanfaatkan gas ini untuk CSR, dipakai untuk gas kota atau penerangan.

(Hidayat Tantan/tsuma25@yahoo.com)