JAKARTA – Setelah mencapai level tertinggi US$86,74 per barel pada 3 Oktober 2018, harga minyak patokan global, Brent North Sea terus tertekan hingga kembali mendekat ke level US$80 per barel.

Minyak mentah Brent untuk pengiriman Desember turun US$2,83 atau 3,41%, menjadi US$80,26 dolar AS per barel pada penutupan perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB).

Nasib serupa dialami minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk penyerahan November turun US$2,2 ke level US$70,97, turun 3,01% dibanding penutupan sehari sebelumnya.

“Turunnya selera risiko secara umum telah merambat ke pasar minyak. WTI dan Brent terus melemah di hari Kamis,” ujar Lukman Otunuga, Research Analysist FXTM, Jumat.

Menurut Lukman, laporan resmi dari Energy Information Administration (EIA) AS menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah AS meningkat lebih dari ekspektasi mendukung aksi jual ini.
Persediaan minyak mentah AS naik enam juta barel pekan lalu, lebih dari dua kali lipat dari ekspektasi para analis untuk peningkatan 2,6 juta barel.

EIA menyebut operasional kilang minyak mentah turun 352.000 barel per hari karena tingkat pemanfaatan turun 1,6%.

Penurunan pasar ekuitas AS dan lingkungan penghindaran risiko (risk-off) global juga membebani minyak mentah berjangka.

Pada Rabu (10/10), pasar saham AS jatuh, dengan indeks S&P 500 dan Dow Industrials mencatat hari terburuk mereka dalam delapan bulan, karena data ekonomi yang solid memperkuat ekspektasi kenaikan suku bunga selama tahun depan.

“Kombinasi penghindaran risiko dan berkurangnya kekhawatiran tentang pasokan minyak dapat menyebabkan penurunan harga minyak, namun derajatnya tetap dibatasi oleh sejumlah faktor risiko geopolitik,” kata Lukman dalam laporannya.

Sanksi yang segera diberlakukan terhadap Iran dan penurunan produksi Venezuela memicu ketidakpastian mengenai prospek pasokan global, sehingga bulls memiliki cukup dukungan untuk kembali bangkit.

“Para trader teknikal akan terus mengamati apakah Brent mampu melintasi di bawah US$81. Kelemahan berkelanjutan di bawah level ini dapat memberi alasan bagi bearsintraday untuk menguji US$80,2 per barel,” kata Lukman.(AT)