JAKARTA Kemampuan pihak ketiga atau perusahaan khusus seismik eksplorasi yang biasanya mengumpulkan data dinilai menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas data wilayah kerja (WK) migas yang akan dilelang. Pasalnya, data yang minim dituding menjadi penyebab rendahnya minat pelaku usaha dalam lelang WK migas, terutama lelang reguler dalam beberapa tahun terakhir.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan keterlibatan pihak ketiga untuk mengumpulkan data seismik merupakan hal yang lumrah di industri migas internasional, termasuk di Indonesia sebenarnya tidak dilarang. Hanya saja masalahnya prosedur perizinan yang berbelit membuat minat perusahaan yang memburu data WK Migas tidak besar.

Untuk itu pemerintah kini tengah menggodok prosedur baru dalam mekanisme pengajuan izin kegiatan survei seismik agar lebih sederhana.

Keberadaan perusahaan khusus survei seismik akan memperkaya data migas. Perusahaan yang telah memiliki data akan menyetorkan sebagian data yang didapatkan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas data WK migas yang akan dilelang.

“Jadi yang melakukan bukan KKKS, tapi seismic company. Itu yang dinamakan dengan multi client data. Nanti data-data mereka dilaporkan ke kami, mereka tetap keep data yang mereka dapat ada nilai komersialnya kan disitu. Nanti data tersebut kami gunakan untuk support penjualan blok,” kata Arcandra di Kementerian ESDM, Rabu malam (17/10).

Perusahaan seismik bisa saja bekerja sama dengan KKKS atau bergerak secara mandiri. Saat sudah mendapatkan data, maka itu yang akan dijual oleh perusahaan survei. Selanjutnya, perusahaan atau kontraktor peminat yang tidak bekerja sama dengan perusahaan survei juga bisa mendapatkan data tambahan dengan membeli data dari perusahaan survei tersebut.

Keterlibatan perusahaan survei bisa jadi hal positif lantaran kegiatan seismik selama ini terlalu bertumpu terhadap kegiatan KKKS. Disisi lain, kemampuan pemerintah sangat terbatas dari sisi pendanaan.

“Dianggarkan Rp60 miliar-Rp70 miliar untuk melakukan survei seismik eksplorasi per tahun. Sekarang kami lewat firm working commitment sudah dapat Rp25 triliun, itu juga bisa digunakan, jadi tidak tergantung APBN,” ungkap Arcandra.

Dia menambahkan penyederhanaan tersebut dikejar agar bisa diimplementasikan pada tahun ini. Selama ini, pemerintah hanya mendapat pemasukan paling tidak US$1 juta dari setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kegiatan perusahaan survei. Ini juga yang menyebabkan perusahaan survei enggan melakukan kegiatan di Indonesia.

“Selama ini kami cuma dapat seluruh PNBP itu Rp1 juta, kecil dari kegiatan survei. Kami mau jual blok yang benar atau mendapatkan PNBP, cuma US$1 juta. Idenya bagaimana caranya supaya kegiatan eksplorasi meningkat dengan baik, bukan menarik iuran dari situ,” kata Arcandra.(RI)