JAKARTA– Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) mendapatkan pasokan bahan baku untuk mengoperasikan teknologi pemisahan uranium, torium, dan logam tanah jarang (LTJ) dari PT Timah Tbk (TINS). Djarot Sulistion, Kepala BATAN, mengatakan pasokan bahan baku untuk fasilitas industri logam tanah jarang itu dalam skala kilogram.

“Timah memasok bahan baku sebanyak 50 kg per batch karena masih pilot plant bukan komersial,” kata Djarot, kepada Dunia Energi, Selasa(26/12).

BATAN dan Timah sebelumnya telah mengembangkan pilot plant yang memproduksi logam tanah jarang, di Muntok, Bangka Barat.

BATAN melalui Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN) telah mengoperasikan teknologi pemisahan uranium, torium dan logam tanah jarang (LTJ) dari monasit yang merupakan hasil samping dari penambangan timah. Pilot Plant Pemisahan Uranium, Torium, dan Logam Tanah Jarang dari Monasit (PLUTHO) yang berlokasi di Pasar Jumat, Jakarta, selesai dibangun pada akhir 2016 .

Menurut Djarot, pembangunan pilot plant ini merupakan salah satu tahap bentuk dukungan menuju industrialisasi LTJ di Indonesia.

Djarot menjelaskan, saat ini pemerintah Indonesia memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan LTJ dan menjadikannya sebagai salah satu program prioritas nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Laboratorium PLUTHO saat ini berfungsi sebagai tempat penelitian dan pengembangan LTJ. Ke depannya, laboratorium PLUTHO dapat dimanfaatkan sebagai penyedia logam tanah jarang hidroksida bagi penelitian di bidang LTJ di Indonesia.

Kandungan LTJ di Indonesia cukup melimpah sehingga diyakini memiliki potensi sebagai salah satu pemasok LTJ dunia yang saat ini didominasi oleh China. Karakteristik material LTJ yang istimewa menjadikan LTJ sangat diminati industri, terutama industri maju dan strategis seperti industri elektronik, otomotif, perminyakan, kedirgantaraan, dan pertahanan.

Kapasitas produksi PLUTO sebesar 50 kg monasit per batch. Sampai dengan bulan Desember 2017 ini telah diperoleh produk LTJ hidroksida sampai batch 12 dengan kuantitas produk masih fluktuatif antara sebesar 10 – 15 kg LTJ hidroksida per batch. Kualitas LTJ yang dihasilkan semakin baik dan mendekati kualitas produk hasil skala laboratorium yaitu kadar uranium dan torium di bawah 50 puteran per meni (ppm) dan kadar LTJ hidroksida lebih dari 80%.

Sebagian produk LTJ hidroksida dari pilot plant PLUTHO ini telah didistribusikan ke Pusat Sains dan Teknologi Akselerator (PSTA) – BATAN, Yogyakarta untuk diolah lebih lanjut menjadi Cerium oksida, Lantanum oksida dan Neodimium hidroksida serta ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (Puslitbang Tekmira), Kementerian ESDM, Bandung untuk diolah menjadi Gadolinium oksida. Selanjutnya LTJ oksida diolah menjadi LTJ individu, paduan LTJ dan diaplikasikan sebagai bahan magnet, cat antiradar dan contrast agent.

Secara komersial logam tanah jarang dan paduannya banyak digunakan pada perangkat seperti memori komputer, DVD, ponsel, catalytic converter, magnet, lampu neon, dan baterai isi ulang. Banyak baterai isi ulang yang dibuat dengan senyawa logam tanah jarang. Permintaan untuk baterai ini didorong oleh permintaan atas perangkat elektronik portabel seperti komputer portabel dan kamera. Sejumlah senyawa tanah jarang juga berada didalam baterai yang digunakan sebagai sumber daya pada setiap kendaraan listrik dan kendaraan listrik hibrida.

“Kami berharap laboratorium PLUTHO dapat menjadi cikal bakal industri berbahan baku LTJ,” kata Djarot. (RA)