JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bertekad meningkatkan produksi migas melalui beberapa program percepatan eksplorasi dan eksploitasi. Dalam jangka waktu lima tahun kedepan, program tersebut ditargetkan bisa memberikan dampak positif terhadap kapasitas produksi nasional.

“Kita ingin program cepat lima tahun, itu yang kita bicarakan. Kita mau lifting di atas 800 ribu barel per hari (bph), untuk itu perlu kerja sama baik Kementerian ESDM, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), maupun KKKS,” kata Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM di Jakarta, Jumat (17/2).

Menurut Arcandra, keterlibatan tiga elemen tersebut mutlak guna merealisasikan berbagai program yang direncanakan oleh pemerintah terutama adalah peran serta kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang berfungsi sebagai eksekutor dalam program tersebut.

“Eksekutor kan KKKS. Kita teriak-teriak untuk tahan produksi tapi siapa yang kerjain? Maka kita panggil KKKS,” tukasnya.

Arcandra mengungkapkan ada tiga program yang disiapkan dalam jangka pendek guna memacu produksi. Pertama adalah teknologi. Akan tetap penerapan teknologi tidak serta merta mementingkan kecanggihan saja melainkan juga memperhatikan kecocokan dengan karakteristik kondisi lapangan migas di tanah air.

“Teknologi apa, siapa provider, kemudian sukses story, dan karakteristiknya apakah cocok di lapangan-lapangan yang ada di Indonesia ini, serta komersialnya,” papar Arcandra.

Dia menegaskan pemilihan teknologi adalah hal yang krusial karena harus dihindari kondisi dimana biaya produksi justru jauh lebih mahal dari harga revenuenya,” Kalau gini tidak bisa diterapkan tekonologinya,” tambahnya.

Kedua, setelah ditemukan teknologi, maka perlu dilakukan sharing knowldge dan workshop kepada semua KKKS diipresentasikan. Diharapkan KKKS memiliki program yang cocok dengan teknologi.

Selain itu, pemerintah juga berupaya terus bisa memperbaiki iklom investasi dari sisi regulasi. Pasalnya, kondisi sebelum diterbitkannya UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 banyak kesuksesan aktivitas pengeboran oleh KKKS. Hal tersebut ditopang oleh banyaknya investasi dan aktivitas eksplorasi yang saat ini sukar dilakukan.

Pada periode 1970-1980-an saat masih diberlakukan rentan waktu antara discovery dan first oil masih bisa dibawah lima tahun. Berbeda dengan saat ini yang rentan waktu bisa 10-20 tahun.

“Tahun 70an kenapa dibawah lima tahun? Sekarang diatas 15 tahun? Apa sebabnya? Regulasi belum rumit. Dulu BP Migas di bawah Pertamina, namanya BPPKA. UU migas kita waktu itu berubah. Apa yang menyebabkan waktu antara eksplorasi sampai first oil makin panjang? ,” papar Arcandra.

Short term program dinilai sangat diperlukan untuk merespon kondisi produksi migas yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah bisa saja tidak berakselerasi dalam pengelolaan migas, namun ujungnya nanti negara harus terus meningkatkan impor guna memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Pemerintah sekarang maunya produksi naik,dalam waktu singkat lima tahun. Produksi kita buat selama ini 800 ribu tidak boleh turun, dari rencana SKK Migas implementasinya 800 ribu bph, bisa 700 ribu bph, 600 ribu bph dan turun terus,” ungkap Arcandra.

Tentu saja impor akan menguras devisa negara yang tidak sedikit. Sehingga jalan satu-satunya untuk mencegah hal itu adalah dengan menghasilkan produk minyak dan gas dari dalam negeri.

Nantinya kebijakan juga akan menyasar pada proses perizinan yang merupakan masalah klasik lambatnya setiap proses pengelolaan blok migas di Indonesia, terutama berbagai perizinan yang berada diluar jangkauan SKK Migas.

“Review SKK Migas berapa lama sampai sekian lama, kemudian izin di luar domain SKK Migas, tanah, izin seismic, itu kan panjang,” kata Arcandra.(RI)