JAKARTA – Rencana pengembangan Blok Kasuri sudah mendapatkan persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada April 2018. Genting Oil, perusahaan asal Malaysia, sebagai operator dipastikan tidak akan mengolah gas Kasuri menjadi gas alam cair (Liqufied Natural Gas/LNG).

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, menegaskan gas Kasuri sesuai rencana akan dimanfaatkan untuk kebutuhan industri petrokimia.

“Kalau tidak salah dengan methanol dan amoniak, kayaknya petrokimia,” kata Arcandra di Kementerian ESDM, Selasa malam (16/10).

Blok Kasuri merupakan salah satu bagian dari proyek strategis nasional yang hasil gasnya diharapkan bisa meningkatkan kapasitas industri petrokimia nasional yang masih terbatas.

Wisnu Prabawa, Kepala Divisi Program dan Komunikasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), mengatakan gas dari blok Kasuri akan dihasilkan dari Lapangan Asap, Merah dan Kido yang diperkirakan memiliki cadangan terbukti sebesar 270 juta barel ekuivalen.

“Direncanakan blok Kasuri dapat mulai memproduksi gas sebesar 170 MMSCFD pada kuartal pertama 2023,” ungkap Wisnu saat dihubungi Dunia Energi, Rabu.

Menurut Arcandra, gas Kasuri tidak akan dijadikan LNG, selain karena kebutuhan petrokimia yanh besar juga karena telah ada produksi LNG dari Blok Tangguh yang juga berada di Papua dan dikelola BP. “Rasanya tidak LNG, karena Tangguh sudah ada,” tukasnya.

Gas Kasuri rencananya akan diserap perusahaan asal China untuk industri petrokimia di sekitar wilayah Bintuni.

Blok Kasuri sebenarnya sudah mengalami tarik ulur rencana pengembangan. Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas, sebelumnya menyebut harga gas yang disepakati tergolong cukup ekonomis, yakni hanya US$5,2 per MMBTU. Itu sebabnya gas Kasuri bisa langsung dikembangkan.

Aktivitas pengembangan Blok Kasuri terhenti sejak 2016 seiring pembahasan revisi PoD yang diajukan Genting Oil. Perusahaan minyak dan gas asal Malaysia mematok biaya pengembangan satu sumur mencapai US$80 juta-US$85 juta. Namun SKK Migas menilai perhitungan tersebut masih menggunakan acuan saat harga minyak tinggi. Padahal harga minyak dalam dua tahun terakhir terbilang rendah, sehingga seharusnya biaya pengembangan satu sumur tidak sampai US$80 juta.(RI)