JAKARTA – Sikap PT Freeport Indonesia yang diungkapkan induk usahanya, Freeport-McMoRan Inc yang tidak sepakat terhadap lima poin posisi pemerintah dalam proses negosiasi dalam rangka perpanjangan kontrak dinilai sudah bisa terbaca. Untuk itu, pemerintah harus waspada terhadap Freeport yang cenderung memikirkan kepentingannya semata tanpa memikirkan kepentingan Indonesia.

“Berbagai kehendak Freeport yang sedari dulu terksesan tidak mau tunduk pada peraturan perundang-undangan nasional, termasuk penghitungan harga saham yang akan didivestasi, seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk tidak memperpajang operasinya pasca 2021,” ujar Ahmad Redi, Staf Pengajar Hukum Pertambangan Universitas Tarumanegara, Jumat (29/9).

Hal tersebut diungkapkan Redi menyikapi surat tanggapan Freeport yang ditandatangani Chief Executive Officer Freeport-McMoRan Richard C Adkerson yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per tanggal 28 September 2017.

Poin pertama menyangkut divestasi saham sampai kepemilikan Indonesia mencapai 51% yang seharusnya selesai pada 2011, sehingga pelaksanaan divestasi merupakan kewajiban Freeport yang tertunda. Freeport menyatakan tidak setuju dengan pernyataan yang termasuk dalam dokumen dan menyampaikan tanggapan dan klarifikasi atas posisi pemerintah.

Kedua, posisi pemerintah bahwa valuasi harga divestasi 51% saham dihitung berdasarkan manfaat kegiatan usaha pertambangan hingga 2021 atau hingga kontrak berakhir. Namun Freeport tetap bertahan bahwa divestasi harus mencerminkan nilai pasar wajar hingga 2041.

Ketiga, Freeport tidak menginginkan rencana penerbitan saham baru atas rencana divestasi 51% saham.

Keempat, Freeport menerima pihak Indonesia memegang kendali hingga 51% saham dengan syarat divestasi dihitung berdasarkan nilai wajar hingga 2041.

Kelima, Freeport menanggapi permintaan pemerintah untuk melakukan due dilligence dan mempermudah untuk mendapatkan akses

Freeport dalam bagian penutup surat yang ditujukan ke pemerintah Indonesia juga menilai apa yang diajukan pemerintah tidak memberikan win win solution bagi kedua belah pihak yang bernegosiasi.

Redi mengatakan perhitungan divestasi 51% saham sudah seharusnya menggunakan perhitungan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2017 yang mengatur perhitungan harga saham divestasi dilakukan sesuai Fair Market Value tanpa memperhitungkan cadangan mineral pada saat penawaran divestasi. Artinya cadangan penghitungan cadangan hingga 2041 tidak pas secara regulasi.

“Secara hukum cadangan itu masih menjadi mineral right bangsa, belum menjadi milik Freeport. Mineral menjadi milik Freeport setelah terjadi pembayaran royalti,” tegas Redi

Menurut Redi, apa yang diinginkan Freeport ini sudah dapat ditebak. Setelah mendapatkan kepastian perpanjangan melalui Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), penundaan kewajiban pembangunan smelter hingga 2022, maka walau mau divestasi saham namun divestasi yang akan dilakukan tentu tidak akan mudah.

“Salah satu yang membuat sulit yaitu mengenai penghitungan saham. Dan ini pernah terjadi pada 2015 ketika ada penawaran 10,64% yang tidak ada titik temu,” tandas Redi.(RA)