JAKARTA – Ketergantungan terhadap LPG (Liquefied Petroleum Gas) dinilai harus segera dikurangi seiring kemampuan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Akibatnya, kebutuhan LPG masyarakat semakin besar dipenuhi dari impor.

Syamsu Alam, Direktur Hulu PT Pertamina (Persero), mengungkapkan karakteristik gas yang terkandung di sebagian besar lapangan gas di Indonesia berjenis dry gas atau lean gas, salah satunya Blok Mahakam yang menjadi kontributor produksi gas terbesar nasional saat ini.

“Makaham lapisan atas lean gas, wajar jadinya yang masuk itu lean. Akibatnya, impor (LPG) makin besar,” kata Syamsu, belum lama ini.

Bahkan, saat ini saja Kilang Bontang  sudah tidak lagi memproduksi LPG lantaran pasokan gas yang masuk juga berjenis lean gas.

Selain Blok Mahakam, blok gas lainnya juga menghasilkan lean gas, yakni Lapangan Jangkrik yang dikelola ENI Indonesia.

Secara umum, gas alam terbagi menjadi dua jenis, yakni wet gas yang juga disebut rich gas karena panjangnya rantai karbon penyusun. Rich gas merupakan jenis gas dengan kadar tinggi propana, butana, hingga heptana. Rich gas inilah yang kemudian bisa diproduksi menjadi LPG.

Serta dry gas atau lean gas yang memiliki rantai karbon lebih pendek dengan konsentrasi tinggi metana dan etana.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dari konsumsi LPG setiap tahun sekitar 60% dipenuhi dari impor.

Menurut Syamsu, harus ada rencana jelas untuk bisa segera memanfaatkan energi alternatif pengganti LPG. Apalagi jika beban impor LPG akan semakin berdampak pada keuangan negara. Salah satu yang bisa dikembangkan dan menjadi jalan terbaik adalah mendorong penggunaan jaringan gas (jargas) rumah tangga melalui konsep city gas.

“Kalau tidak ada konversi energi LPG ke city gas ini akan membuat semakin jauh dari ketahanan energi. Saya sepakat untuk dipikirkan serius mengenai LPG ke depannya,” ungkap dia.

Ali Ahmudi, Pengamat Energi dari Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS) menilai pengembangan energi alternatif harus segera dilakukan dan gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) salah satu di antaranya.

“Bangun dan kembangkan jaringan gas kota basis energi primernya LNG yang cukup banyak di Indonesia,” kata dia.

Menurut Ali, jargas yang sudah ada masih belum opimal karena ada sejumlah kendala. Pemerintah masih belum mau berinvestasi besar dalam pembangunan jargas, karena itu progressnya terkesan berjalan di tempat. Padahal ada alternatif cara untuk bisa mempercepat penggunaan jargas, meskipun mahal dari sisi infrastruktur yakni dengan mengalihkan subsidi.

“Infrastruktur awalnya mahal (Jargas). Pemerintah harus mau berinvestasi,  bisa dengan mengalihkan subsidi,” kata dia

Secara bersamaan masyarakat juga harus mulai disosialisasikan terkait masalah ini, terutama dari sisi efektivitas dan kegunaan jargas, sehingga masyarakat juga mau beralih.

“Masyarakat belum familuar, sehingga cenderung takut menggunakan jargas.  Sosialisasi harus kuat,” tandas Ali.(RI)