JAKARTA – Perkembangan sektor minyak dan gas (migas) di Indonesia diprediksi masih akan berjalan lambat dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini sebagai dampak dari anjloknya harga minyak dunia sejak dua tahun terakhir.
Christina Verchere, Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA), mengungkapkan dampak dari anjloknya harga minyak membuat seluruh kontraktor di dunia kesulitan dalam memanage finansial karena harus menghitung ulang cast flow.

“Ini terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk perusahaan yang beroperasi di Indonesia pasti akan terdampak,” kata
Christina dalam konferensi pers pelaksanaan IPA Convex 2017 di Jakarta, Rabu (10/5).

Menurut Verchere, salah satu jalan keluar untuk bisa mempercepat perkambangan sektor migas tanah air adalah dengan peningkatan investasi. Namun sayang, investasi di tanah air justru jeblok.
Sejumlah negara tetangga juga tidak tinggal diam dengan berlomba dalam peningkatan iklim investasi di sektor migas, seperti di Myanmar dan Vietnam yang sudah banyak lebih dilirik perusahaan internasional dibanding Indonesia.

Verchere mengatakan penyebab anjloknya investasi migas di Indonesia adalah kondisi iklim bisnis migas yang dianggap tidak atraktif bagi perusahaan migas dunia, sehingga banyak kontraktor besar dunia berpikir ulang untuk melakukan investasi. “Ini yang akan kita diskusikan di forum IPA 2017, bagaimana meningkatkan atraktivitas sektor migas Indonesia,” kata dia.

Marjolijn Wajong, Direktur Eksekutif IPA, menambahkan penurunan aktivitas migas di Indonesia nyata terjadi dan dibuktikan dengan terus menurunnya angka investasi yang dikeluarkan perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi.

Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) pada tahun lalu saja investasi yang digelontorkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hanya US$ 11,15 miliar, turun 27% dibanding 2015 sebesar US$ 15,43 miliar.

Menurut Wajong, terjadinya penurunan investasi menyebabkan total wilayah yang dieksplorasi untuk mencari cadangan juga turun dari 238 wilayah kerja (WK) migas yang dieksplorasi pada 2013 menjadi 199 WK migas pada 2016, terdiri dari 110 WK konvensional aktif, 52 WK non konvensional, serta 37 wilayah kerja yang siap memasuki masa terminasi. “Jadi aktivitas eksplorasi dan produksi turun. Akibatnya di penambahan cadangan juga kan,” tukas dia.

Kondisi tersebut menjadi indikasi Indonesia sudah kritis di sektor migas. Untuk itu harus segera disikapi pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak kaku sekaligus mampu meningkatkan kepercayaan para kontraktor untuk menanamkan dananya di Indonesia.

“Padahal peluang di migas ini masih banyak, baik yang langsung maupun tidak langsung. Jadi kita ini sudah krisis, dalam kondisi tidak baik ini harus disadari dan dicarikan solusi,” tandas Wajong.(RI)