JAKARTA – Sehubungan dengan adanya kesimpangsiuran informasi terkait perpanjangan kontrak karya penambangan PT Freeport Indonesia, Kepala Staf Presiden Teten Masduki mengatakan Presiden Joko Widodo dan pemerintah hingga saat ini belum memperpanjang kontrak karya Freeport yang akan berakhir pada 30 Desember 2021. Menurut dia, dalam pertemuan Presiden dengan pihak Freeport beberapa waktu lalu, yang dibicarakan hanya menyangkut lima hal, yaitu soal royalti, divestasi, peningkatan kandungan lokal, hilirisasi industri (smelter) dan pembangunan Papua.

“Presiden dan Pemerintah RI harus mematuhi Peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku saat ini, yang membatasi bahwa pengajuan perpanjangan kontrak hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum masa kontrak berakhir,” kata Teten dalam penjelasannya, Kamis (22/10).

Mantan aktivis anti-korupsi itu menyebutkan pemerintah memang menerima masukan dari semua perusahaan tambang, yang meminta agar negosiasi perpanjangan kontrak bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelum masa kontrak berakhir, dengan alasan mereka tidak berani mengucurkan dana investasi baru sebelum memiliki kepastian bahwa kontraknya akan diperpanjang. Pemerintah di satu sisi bisa memahami persoalan ini, dan sebagai konsekuensinya, pemerintah juga dihadapkan pada adanya potensi penurunan produksi hasil pertambangan, yang pada akhirnya berimbas pada penurunan royalti sebagai penerimaan negara. “Namun, di sisi lain pemerintah tetap terikat dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia saat ini,” tegasnya.

Lebih jauh, Teten menegaskan semangat Presiden dalam negoisasi perpanjangan kontrak-kontrak pertambangan pada dasarnya menginginkan adanya manfaat yang lebih besar untuk kepentingan negara dan seluruh rakyat Indonesia.

Aktivis menilai pemerintah terus merendahkan martabat bangsa dengan menyebutkan jika tidak memperpanjang Kontrak Karya Freeport, maka langit akan runtuh.” Logika para inlander yang menyebut APBN akan kolap, sungguh sudah dibutakan oleh nasionalisme Freeport. Bandingkan saja, pada awal 2014, Freeport menyetor pajak dan royalti Rp5,6 triliun, sementara pemerintah pada tahun sama harus membayar bunga dan pokok utang mencapai Rp65,5 triliun. Namun bayar utang sebesar itu tidak disebut kolap. Logika sederhana, jauh lebih senang kehilangan uang sebelas kali lipat untuk membayar utang dari pada kehilangan Freeport,” tutur juru bicara JATAM, Ki Bagus Hadikusuma, Kamis.

Untuk itu, kata dia, JATAM menuntut pemerintah Jokowi-JK melakukan evaluasi menyeluruh atas persoalan lingkungan, HAM, kewajiban keuangan, perizinan dengan melibatkan berbagai pihak secara terbuka dan independen. “Pemerintah juga harus menghilangkan status istimewa PT Freeport, seperti objek vital negara, sama dengan perusahaan-perusahaan tambang lainnya yang tunduk terhadap hukum Indonesia. Terakhir, memaksa Freeport untuk melakukan rehabilitasi dan reklamasi bekas tambangnya,” tegas Bagus.(LH)