Stock pile hasil produksi di tambang nikel.

Stock pile hasil produksi di tambang nikel.

Setelah bertarung habis-habisan mendesakkan nilai tambah, tiba-tiba pemerintah memutuskan kembali membuka kran ekspor mineral mentah. Tak satu pun menyambutnya dengan suka cita. Keputusan itu justru berbuah protes dan menjadi bahan tertawaan.

Kening Budi Santoso berkerut. “Kekonyolan macam apa lagi yang dibuat pemerintah ini?,” gumam Ketua Working Group Komite Bidang Kebijakan, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI) ini di penghujung Agustus 2013. Saat itu, Menteri Keuangan, Chatib Basri baru saja mengumumkan rencana pemerintah untuk mencabut sementara kuota ekspor bijih mineral tambang Indonesia.

Alasan Chatib, pemerintah ingin mengurangi defisit neraca perdagangan. Dengan melonggarkan kembali ekspor bijih mineral, diharapkan nilai tukar Rupiah tidak terlalu merosot, menyusul penguatan nilai Dolar Amerika Serikat.

Seperti diketahui, defisit neraca perdagangan Indonesia di 2013 terus meningkat, akibat rendahnya ekspor dan menggilanya impor. Sementara, salah satu barang yang cukup laku diekspor adalah bijih mineral tambang, karena sangat dibutuhkan oleh industri pengolahan logam di luar negeri. Volume ekspor mineral mentah ini memang sempat turun di 2013.

Mungkin dalam benak pemerintah, turunnya ekspor mineral tambang itu hanya akibat pembatasan ekspor, yang dilakukan lewat pemberlakukan kuota sejak 2012. Pembatasan dilakukan, untuk menghindari obral ekspor bijih mineral, oleh pengusaha tambang yang menghindari kewajiban mengolah mineral di dalam negeri.

Kewajiban yang dikenal dengan kebijakan nilai tambah itu sendiri, akan diterapkan mulai 2014. Chatib pun berjanji, pencabutan kuota ekspor mineral mentah hanya diberlakukan empat bulan. Setelah itu, mulai 12 Januari 2014, ekspor bijih mineral akan kembali dilarang.

Sorry ya, saya cuma mau bilang, kebijakan ini tidak akan memperbaiki neraca perdagangan Indonesia. Tapi justru menampar wajah pemerintah sendiri,” ujar Budi Santoso setelah membaca penuturan Chatib Basri itu di media online. Ia berani memastikan, kebijakan mencabut kuota ekspor mineral mentah itu, diputuskan pemerintah tanpa didasari pemetaan kondisi secara benar.

Budi juga yakin, pencabutan kuota ekspor mineral mentah itu tidak akan mampu memperbaiki neraca perdagangan Indonesia. “Kalau mempermalukan pemerintah sih sudah pasti,” tukasnya. Menurutnya, teknik pertambangan yang terbaik di dunia pun, tidak akan mampu menaikkan produksi dan penjualan mineral, hanya dalam waktu empat bulan.

Lebih jauh lagi, kata Budi, pengusaha tambang mana yang mau jungkir balik mengeluarkan biaya besar, menambah alat untuk menggenjot produksi dan penjualan, hanya untuk jangka waktu empat bulan? Untuk mendatangkan alat saja, baik dengan menyewa ke kontraktor maupun membeli, dibutuhkan kurang lebih tiga bulan. “Lalu baru satu bulan alatnya bekerja penjualannya sudah dibatasi lagi. Siapa yang mau? Jelas tidak untung, tapi buntung,” ungkap Direktur Utama SRK Consulting ini.

Budi Santoso, Ketua Working Group Komite Bidang Kebijakan, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI).

Budi Santoso, Ketua Working Group Komite Bidang Kebijakan, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI).

Gara-gara Panik

Budi Santoso menerangkan, turunnya ekspor mineral Indonesia di 2013, bukan semata-mata disebabkan pembatasan ekspor lewat penerapan kuota. Penyebab utamanya adalah, permintaan dan harga mineral tambang memang sedang merosot dalam dua tahun belakangan ini, menyusul krisis ekonomi yang melanda Eropa, bahkan sudah merangsek ke China.

Contohnya bijih nikel, salah satu komoditi mineral tambang asal Indonesia yang paling laris di pasar dunia. Meskipun kuota ekspor nikel dicabut, tidak akan ada pengusaha yang mau melakukan ekspor saat ini, karena harganya di pasaran sudah berada dibawah biaya produksi. Kondisi yang sama juga dialami tembaga, bauksit, mangan, timah, dan mineral tambang lainnya, termasuk emas.

“Saya menduga pemerintah panik begitu melihat defisit neraca perdagangan yang begitu dalam. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang tidak didasarkan pada kondisi riil perdagangan mineral saat ini,” ucap Budi sembari menyatakan tidak yakin kondisi itu tidak diketahui para pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Indonesian Mining Association (IMA) Martiono Hadianto. Ia juga tidak yakin membuka kembali kran ekspor mineral mentah saat ini, dapat memperbaiki defisit neraca perdagangan Indonesia. Karena pada dasarnya, minimnya ekspor mineral Indonesia disebabkan turunnya permintaan dan harga di pasaran dunia.

Ditemui pada Selasa, 27 Agustus 2013, Martiono yang juga Presiden Direktur PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) tampak tidak bersuka cita dengan kebijakan pencabutan kuota ekspor mineral itu. Padahal PTNNT yang memproduksi emas dan tembaga, termasuk salah satu yang sedang bernegosiasi alot dengan pemerintah, terkait pelaksanaan kewajiban mengolah mineral di dalam negeri mulai 2014.

Martiono sendiri mengaku, bukan kebijakan semacam pembebasan kembali ekspor mineral itu yang dibutuhkan pengusaha tambang saat ini. Melainkan yang dibutuhkan adalah kebijakan yang memudahkan usaha. “Kita hanya butuh kepastian hukum dan kepastian prosedur. Kalau dokumen-dokumen perizinan yang dibutuhkan sudah lengkap, mestinya izin secepatnya dikeluarkan,” tandasnya.

Tambang Batu Hijau

Tambang Batu Hijau PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

Kisah Pemburu Kuota

Dalam banyak kesempatan, Martiono juga mengaku tidak pernah menolak kebijakan nilai tambah mineral. Karena pada dasarnya yang diekspor PTNNT bukan bijih tembaga, melainkan konsentrat atau ore tembaga, yang sudah melalui treatment pengolahan tahap awal. “Dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) sendiri hanya disebutkan, wajib melakukan pengolahan di dalam negeri. Diolah sampai menjadi apa, tidak disebutkan,” ulasnya.

Toh pemerintah berpendapat lain. Menurut pemerintah, sesuai UU Minerba dan regulasi teknis pelaksanaan UU itu, pengolahan tembaga di dalam negeri minimal harus menjadi copper cathode (katoda tembaga). Konsentrat atau ore tembaga termasuk yang dilarang untuk diekspor mulai 2014.

Martiono balik bertanya, apakah pemerintah sudah memikirkan tentang pangsa pasar katoda tembaga? Karena berdasarkan riset yang dilakukan IMA melibatkan konsultan dari luar negeri, pasar katoda tembaga dunia saat ini sedang jenuh, menyusul pengurangan produksi sejumlah industri manufaktur pengguna katoda tembaga, di beberapa negara.

Selain itu, kata Martiono, pengolahan seluruh konsentrat tembaga menjadi copper cathode di dalam negeri, tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu dekat ini. Pasalnya, satu-satunya smelter yang sudah siap untuk melakukan pengolahan adalah PT Smelting Gresik. Kapasitas pabrik yang berada di Jawa Timur itu sangat terbatas, dan tidak bisa menampung semua produksi konsentrat PTNNT.

Kalau toh PTNNT dipaksa membangun smelter tembaga sendiri, atau ada pihak lain yang hendak mendirikan smelter tembaga di Indonesia, minimal waktu yang dibutuhkan mulai studi kelayakan sampai pabrik siap beroperasi, antara 6 – 7 tahun. “Kalau tetap dipaksakan kebijakan itu diberlakukan mulai 2014, maka PTNNT harus mengurangi sebagian besar produksinya,” kata Martiono.

Kabar terakhir, Tambang Batu Hijau PTNNT di Sumbawa Barat terancam tutup tahun depan. Pasalnya, jika pemerintah tetap memaksa mulai 2014 nanti hanya copper cathode yang boleh diekspor, maka PTNNT harus mengurangi volume produksinya, sebanyak yang mampu ditampung oleh PT Smelting Gresik. IItu artinya, PTNNT harus mengurangi produksinya hingga tinggal 25% dari yang ada sekarang. Jelas gaji karyawan dan biaya operasional lainnya tidak akan tertutupi.

Seperti dituturkan pakar pertambangan, Mangantar S Marpaung, sampai saat ini dan 2014 nanti, riilnya hanya PT Smelting Gresik yang siap mengolah konsentrat tembaga di Indonesia. Pengusaha-pengusaha yang gembar-gembor katanya akan berinvestasi untuk pembangunan smelter tembaga sejak beberapa tahun lalu, hingga saat ini baru sampai di “bibir” alias baru hanya jadi omongan.

“Mereka ini (yang katanya hendak membangun smelter tembaga, red) kan sebenarnya pengusaha-pengusaha yang cuma mau modal teriak,” kata Marpaung. Mereka mendesak pemerintah kiri-kanan agar segera memaksakan kewajiiban pengolahan mineral di dalam negeri, utamanya tembaga. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan kuota atau jatah mengolah konsentrat dari perusahaan tambang tembaga yang besar-besar seperti PTNNT dan PT Freeport Indonesia.

“Kuota konsentrat tembaga itulah yang hendak mereka tawar-tawarkan ke luar negeri, ke investor asing. Ayo siapa yang mau kerjasama menanamkan modal bangun smelter tembaga di Indonesia bersama kami, kami punya kuota tembaganya lho. Sampai sekarang kenyataannya belum satu pun smelter tembaga yang berdiri kecuali PT Smelting Gresik,” tandas Marpaung.

Itu artinya, lanjut Marpaung, sebenarnya belum ada yang siap membangun smelter pengolahan mineral di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor mineral mentah guna memuluskan program  nilai tambah mulai 2014, jelas tidak didasarkan data. Realitasnya pelebur-pelebur yang katanya hendak membangun smelter itu berbohong. Toh sekarang larangan itu dicabut sendiri oleh pemerintah, gara-gara defisit neraca perdagangan.  

Atas dasar ini, Marpaung yang juga Ketua Dewan Pembina Apemindo (Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia) mengaku setuju dengan kebijakan pemerintah membuka kembali kran ekspor mineral. “Tujuannya kan untuk menyelamatkan defisit neraca perdagangan. Jadi pemerintah sudah benar, yang diselamatkan bangsa dan negara, bukan pelebur-pelebur yang bohong itu,” tukasnya.

Smelter pengolahan bijih tembaga PT Smelting Gresik di Jawa Timur.

Smelter pengolahan bijih tembaga PT Smelting Gresik di Jawa Timur.

Nilai Tambah Tinggal Cerita

Meski demikian, senada dengan Budi Santoso dan Martiono, Marpaung juga tidak yakin kebijakan membuka sementara kran ekspor mineral tambang itu, akan dapat memperbaiki neraca perdagangan Indonesia. Karena problem defisit neraca perdagangan khususnya pada mineral tambang, ialah akibat permintaan dunia yang turun.

“Saat awal krisis ekonomi di Eropa dan Amerika, permintaan mineral tambang dari China masih bagus. Namun sekarang, permintaan dari China pun sudah turun,” tutur Marpaung yang juga mantan Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, pertengahan September 2013.  

Sementara itu, di sebuah sudut Ibukota, beberapa eksekutif perusahaan tambang sedang asyik menyeruput kopi sembari terbahak-bahak. Mereka tergelak membaca berita tentang pemerintah yang tergopoh-gopoh membuka kembali untuk sementara ekspor mineral tambang Indonesia, untuk menstabilkan neraca perdagangan.

“Ini belum 2014 lho, nilai tambah mineral baru pemanasan, tapi langsung KO. Jadi buat apa kita repot-repot dulu beradu argumentasi dengan pejabat Kementerian ESDM soal risiko jika mineral mentah tidak boleh diekspor? Ternyata, dibiarkan saja, aturannya dicabut sendiri,” tutur salah seorang diantaranya sembari menyeka air matanya yang keluar akibat tertawa terpingkal-pingkal.

Mereka sendiri mengaku tidak pernah menentang program nilai tambah mineral yang diamanatkan UU Minerba. Namun mereka mempersoalkan teknis pelaksanaan kebijakan itu, yang cenderung tidak rasional dan tidak didasarkan pada kajian yang komprehensif. Diantaranya penetapan semua mineral tanpa kecuali harus diolah di dalam negeri pada 2014, tanpa pernah memetakan karakteristik masing-masing mineral tambang.

Padahal karakteristik mineral tambang inilah yang paling menentukan, kapan tenggat waktu yang realistis untuk memulai program nilai tambah. Tiap-tiap mineral berbeda, tidak bisa dipukul rata semuanya harus siap dalam lima tahun. “Untuk bijih besi dan nikel mungkin bisa lebih cepat, investasinya pun tidak terlalu mahal. Kalau tembaga, PT Smelting Gresik saja 10 tahun baru siap beroperasi. Investasinya pun lebih dari USD 1,5 miliar,” tutur mereka.

Satu yang duduk paling pojok tiba-tiba nyeletuk, “sudahlah, gak bakal jadi itu program nilai tambah. Ini kan gertakan pemerintah saja buat pengusaha-pengusaha tambang mineral biar mau kooperatif dengan pihak penguasa”. Gertakan lainnya adalah penetapan Clear and Clean IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang kabarnya sudah ‘dibandrol’ Rp 1 miliar per IUP.

Ia pun mengaku yakin, setelah mencabut sementara larangan ekspor selama empat bulan – September sampai Desember 2013– , masuk 2014 akan diperpanjang lagi pencabutan larangan ekspor mineral mentah itu, dengan alasan neraca perdagangan belum membaik.

“Memangnya mereka mau dapat dana Pemilu dan kampanye dari mana kalau pengusaha mineral dilarang ekspor 2014? Selama ini kan yang paling gampang ‘ditodong’ pengusaha tambang. Apalagi ‘ATM-nya’ yang satu, SKK Migas, baru aja diobok-obok KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bisa ‘kering’ mereka kalau ekspor mineral mentah dilarang, ha…ha…ha…,” tutur Humas salah satu perusahaan tambang itu, diikuti gelak tawa rekan-rekannya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)