Maket pabrik CGA Tayan mendapat perhatian para pejabat pemerintah pusat dan daerah usai peletakan batu pertama proyek itu pada 2010.

Maket pabrik CGA Tayan mendapat perhatian para pejabat pemerintah pusat dan daerah usai peletakan batu pertama proyek itu pada 2010.

JAKARTA – Direktur Utama PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, Tato Miraza mengaku mendukung kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bijih mineral mulai 12 Januari 2014. Namun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini meminta dispensasi hingga 2017, guna menyelesaikan beberapa proyek pembangunan smelter pengolahan dan pemurniannya.    

Seperti diketahui, awal pekan ini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014, tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Inti dari PP itu, adalah melarang ekspor mineral dalam bentuk mentah (bijh/ore) dan mewajibkan pengolahan serta pemurnian di dalam negeri.  

Tato menyatakan, mendukung penuh kebijakan pemerintah, yang merupakan pelaksanaan dari amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba). Namun, ujarnya, Antam berharap ekspor bijih mineral masih dapat berjalan sampai 2017.  

“Kami berharap ekspor bijih mineral masih bisa berjalan sampai 2017, bagi perusahaan-perusahaan yang sudah mempunyai fasilitas pengolahan dan pemurnian, dan yang sedang membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian di Indonesia, termasuk Antam,” pinta Tato di Jakarta, Rabu, 15 Januari 2014.

Sejauh ini, Antam memang sudah memulai pembangunan beberapa smelter pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, sejak beberapa tahun lalu. Antara lain pembangunan smelter pemurnian bijih bauksit menjadi Chemical Grade Alumina (CGA) di Tayan, Kalimantan Barat, dan proyek pembangunan Smelter Grade Alumina (SGA) di Mempawah, Kalimantan Barat. CGA Tayan bahkan sudah rampung lebih 90%, dan dijadwalkan memasuki tahap uji coba pabrik tahun ini.

Selama ini, Antam juga telah mengolah bijih nikelnya menjadi feronikel lewat pabrik FeNi I dan II di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, dan sudah membangun satu lagi pabrik pengolahan nikel (FeNi III) di Halmahera, Maluku Utara. Antam juga sudah menyiapkan pabrik pengolahan bijih nikel menjadi nickel pig iron di Mandiodo, Sulawesi Tenggara, yang masuk dalam Masterplan Percepatan & Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Koridor Sulawesi.

Berbagai rencana jangka panjang Antam itu, membuat BUMN pertambangan ini sejak beberapa tahun lalu, hanya mengekspor sebagian kecil bijih nikel dan bauksitnya. Sekedar menyehatkan arus kas, dan modal menyelesaikan proyek. Selebihnya, disiapkan untuk diolah sendiri di dalam negeri.

Seperti diungkapkan Tato Miraza, keberlanjutan ekspor bijih mineral bagi perusahaan-perusahaan tambang yang serius membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian, akan sangat membantu arus kas yang dibutuhkan, untuk membangun dan menyelesaikan berbagai fasilitas pengolahan dan pemurnian tersebut. Terlebih ditengah rendahnya harga komoditas saat ini.

Toh demikian, Antam menyerahkan sepenuhnya keputusan akhir pada pemerintah. “Kami juga menyadari, sebelum memutuskan hal ini (pelarangan ekspor bijih mineral, red) tentunya pemerintah telah mengkaji segala aspek secara terintegrasi dan komprehensif, untuk meminimalkan risiko dan dampak negatif dari keputusan ini,” tukas Tato Miraza.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)