Bachtiar Abdul Fatah saat menjalani sidang kasus bioremediasi di Pengadilan Tipikor.

Bachtiar Abdul Fatah saat menjalani sidang kasus bioremediasi di Pengadilan Tipikor.

JAKARTA – Bachtiar Abdul Fatah tak kuasa menahan tangis saat membacakan pledooi (pembelaan) pribadi dalam sidang kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2013.

Terisak bapak empat anak ini meminta dibebaskan oleh Majelis Hakim karena sejak awal penetapannya sebagai terdakwa tidak sah. Pada saat yang sama, seorang anggota tim jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara itu pamit ke luar ruang sidang untuk merokok.     

“Yang Mulia, saya memohon agar jangan dihukum, kasihani saya. Yang Mulia, saya tidak pernah mengajukan pertanyaan dan keberatan terhadap para Ahli dan Saksi karena saya menilai dan yakin bahwa tim Penasehat Hukum telah menjalankan tugasnya dengan baik. Kecuali atas keterangan dari Edison Efendi dan Juliver Sinaga yang sarat keganjilan dan diragukan keasliannya,” pinta Bachtiar dengan terisak di depan Majelis Hakim, tak mampu menahan tangis.

Dalam pembelaannya, Bachtiar juga mengajukan banding terhadap putusan sela yang memutuskan kasusnya tetap diadili oleh Pengadilan Tipikor. Pengajuan itu didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

“Semoga Majelis Hakim dapat mempertimbangkan kembali apakah pantas kekuasaan memaksa saya menjalankan proses hukum seperti ini? Betapa beratnya beban sebagai tersangka yang dibebankan ke pundak saya secara tidak sah oleh Penuntut Umum,” lanjut Bachtiar berderai air mata. 

Ia pun memohon kepada Majelis Hakim agar statusnya sebagai tersangka dicabut dan dirinya dibebaskan segera setelah persidangan itu. Ia pun mengaku tidak pernah diperiksa setelah penahanan kedua pada 17 Mei 2013 lalu. Ia dijemput paksa dan langsung ditahan di hari yang sama.

“Saya anti korupsi dan setuju untuk menghukum pelaku korupsi dengan hukuman setimpal. Namun pertanyaannya, apakah benar Bachtiar Abdul Fatah melakukan tindak pidana korupsi?,” ujarnya lagi sembari menitikkan air mata, tatkala menceritakan kembali dialognya di persidangan dengan Hakim Slamet Subagyo yang juga bingung dengan penetapan statusnya sebagai terdakwa.

Bachtiar pun mengucapkan di hadapan Majelis hakim, kalaupun ada kesalahan dalam proyek bioremediasi, yang seharusnya bertanggung jawab adalah CPI, bukan karyawannya. Di ujung pembelaannya, Bachtiar mengucapkan terima kasih kepada Majelis Hakim yang telah memimpin sidang dengan baik dan cermat.

Ia percaya nurani Majelis Hakim akan berpihak pada keadilan dan kebenaran. Karena ia yakin para hakim, Antonius Widijantono, Anas Mustakim, dan Slamet Subagyo, adalah orang-orang baik. Nama-nama mereka mencerminkan sosok-sosok yang rendah hati,  berilmu dan berpengetahuan luas, patut diteladani,  bijaksana, bertindak dengan petunjuk dari Sang Kuasa, bersikap jujur dan teguh pendirian dalam kebenaran, serta membawa keselamatan dan kebahagiaan bagi umat manusia.

Bachtiar sendiri mengaku dibesarkan di lingkungan Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, yang mengajarkan nilai-nilai luhur dan sederhana. Ia selalu diajari orangtuanya untuk selalu tulus, bersyukur dan ikhlas dengan apa yang dimiliki, serta bergaul dengan setiap orang dengan tulus tanpa memandang status sosialnya. Petuah itu menjadi bekalnya melangkah sejak kanak-kanak hingga sepanjang kariernya.

Menutup pledooi-nya, Bachtiar membacakan sebaris kutipan Quran Surat Al Baqarah ayat 24. “Jika kamu tak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir,” ucap Bachtiar membacakan kutipan Ayat Suci tersebut. Setelah itu ia menyerahkan berkas pledooi kepada Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum.

Ditinggal Merokok

Seperti persidangan-persidangan sebelumnya, ada saja perilaku menarik jaksa yang tertangkap mata jurnalis dan pengunjung sidang lainnya. Dalam sidang pembacaan pledooi Bachtiar, Jaksa Rudi yang pada sidang pembacaan tuntutan mencoba bermain drama, kali ini meminta izin keluar ruangan saat pembelaan sedang dibacakan. Ternyata di luar sang jaksa asyik minum kopi dan merokok, sementara di dalam ruangan sidang masih berlangsung.

Selain pembacaan pledooi pribadi oleh terdakwa Bachtiar Abdul Fatah, pada sidang tersebut juga disampaikan pledooi dari penasehat hukum. Ketika pledooi hendak dibacakan oleh Suci dari tim Penasehat Hukum, Jaksa Rudi mengajukan keberatan karena Suci dianggap sebagai bukan pengacara karena tidak memiliki izin beracara. Sehingga pembacaan pledoi hanya dilakukan oleh empat perwakilan tim penasehat hukum.

Usai pembacaan pledooi oleh penasehat hukum, Majelis hakim bertanya apakah JPU akan mengajukan replik? Jaksa Rudi menjawab, karena terdakwa dan Penasehat Hukum telah menyusun pembelaan, maka JPU tetap pada tuntutannya. Jaksa Rudi menyatakan bahwa JPU mengajukan tanggapan yang disampaikan secara lisan, yaitu tetap pada tuntutan.

Namun hakim menyatakan hal tersebut berarti JPU tidak mengajukan replik dan karenanya maka tidak ada duplik. Penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail menilai, dengan tidak adanya replik maka kesalahan penyebutan kerugian keuangan negara dalam dakwaan dianggap benar oleh JPU.

Sebelum sidang ditutup penasehat hukum mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada Majelis Hakim. Majelis Hakim bermusyawarah dan menyatakan belum bisa mengabulkan permohonan penagguhan penahanan yang diajukan. Putusan untuk Bachtiar Abdul Fatah akan dibacakan pada hari Kamis, 17 Oktober 2013 pukul 09.00 pagi. 

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)