JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penambahan fasilitas dan infrastruktur Bahan Bakar Gas (BBG) berupa dispenser gas. Saat ini tengah difinalisasi paket regulasi baru yang mengatur kewajiban bagi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk memiliki juga dispenser BBG minimal satu unit.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengatakan dalam waktu dua minggu kedepan paket kebijakan berupa Peraturan Menteri (Permen) ESDM akan diterbitkan. Dalam regulasi tersebut diatur bagaimana pembangunan dispenser gas berdasarkan wilayah.

“SPBU Indonesia ada sekitar 5.000. Nanti ditentukan per wilayah dalam enam bulan harus pasang dispenser gas atau 18 bulan. Kalau itu bisa, nanti mungkin dalam 1-2 tahun akan ada 5.000 dispenser gas,” kata Jonan dalam pembukaan Natural Gas Vehicles and Infrastructure Indonesia Forum and Exhibition, di Jakarta, Selasa (14/3).

Dengan adanya ketersediaan infrastruktur pengisian BBG, Jonan pun berharap akan lebih mudah meyakinkan para pelaku usaha, yakni produsen kendaraan untuk bisa mendukung program konversi bahan bakar melalui pembuatan kendaraan berbahan bakar gas atau menambahkan converter kit sehingga kendaraan yang diproduksi nantinya berjenis dual fuel.

“Kalau ini bisa jalan, saya kira Gaikindo atau industri otomotif akan mendukung. Waktu saya di perhubungan ajak diskusi bagaimana bisa jalan. Gaikindo bilang kalau ada pompa gasnya akan kita push,” tambah Jonan.

Selain ketersediaan infrastruktur, salah satu poin penting untuk percepatan konversi BBM ke BBG adalah harga yang kompetitif. Masyarakat selama ini masih sangat nyaman dengan menggunakan BBM, terutama premium yang memang memiliki harga murah. Jika gas ingin dilirik masyarakat, maka harganya harus bisa bersaing dengan harga BBM. Bahkan jika memungkinkan dibawah harga BBM.

“Harganya harus lebih menarik dibanding BBM biasa. Jika lebih tinggi dari premium harganya RON 88 mungkin orang sudah tidak minat, mesti signifikan 40 persen atau 30 persen lebih murah. Kalau tidak orang tidak akan minat,” ungkap Jonan.

Menurut Jonan, konversi bahan bakar tidak bisa diterapkan hanya kepada angkutan atau transportasi umum. Jika ingin mendapatkan dampak signifikan maka kendaraan pribadi yang seharusnya menjadi sasaran utana sosialisasi dan konversi. Karena jika hanya mengandalkan angkutan umum penyerapan gas tidak akan signifikan.

“Ini (angkutan umum) terlalu kecil. Ini dianggap sukses, jika private users akan pakai, kalau tidak ya tidak ada gunanya,” tukasnya.

Danny Praditya, Presiden Asia Pacific Natural Gas Vehicles Association (Angva), mengatakan Indonesia sudah dikenal masyarakat dunia sebagai negara yang berpotensi besar untuk mengembangkan bahan bakar gas.

Beberapa masukan yang diharapkan bisa dikaji oleh pemerintah untuk bisa mempercepat implementasi konversi bahan bakar di antaranya adalah dukungan berupa kebijakan yang mendukung, membangun kemitraan strategis dengan para pelaku usaha.

“Harus ada certain rate of return of investment agar pertumbuhan infrastruktur bisa berjalan secara masif,” kata dia.

Sosialisasi secara masif terkait manfaat dari sisi ekonomi dan lingkungan juga masih sangat diperlukan. Hal tersebut guna menghadapi berbagai tantangan utama dalam penggunaan BBG sebagai bahan bakar utama bagi masyarakat.

“Tantangan itu pricing, kemudian infrastructure, kepastian gas supply, safety, technology and know how, awareness and education terutama dengan stakeholder yang baru menggunakan gas dan terakhir emission. Kita harus edukasi ke publik bahwa gas itu aman, ramah lingkungan dan efisien”, tandas Danny.(RI)