Stock pile hasil produksi di tambang nikel.

Pertambangan mineral di Indonesia.

JAKARTA – Ahad, 12 Januari 2014 pukul 00.00 WIB, akhirnya pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 01 Tahun 2014, yang berisi larangan terhadap kegiatan ekspor bijih mineral tambang. Era berjualan “tanah-air” telah berakhir.

PP 01/2014 ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pemerintah telah menetapkan pelarangan ekspor bijih mineral, kecuali terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan dan/atau pemurnian pada batas minimum dan jumlah tertentu.

Ketentuan mengenai mengenai batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian serta jumlah hasil pengolahan yang dapat dijual ke luar negeri, selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM).

Asosiasi Metalurgi dan Mineral Indonesia (AMMI) mengaku menyambut baik PP 01/2014 ini. Ketua Umum AMMI, Ryad Chairil memandang hal ini merupakan babak baru bagi pembangunan bangsa Indonesia yang lebih maju, yang kuat struktur industri hilir mineralnya.

“Kami memberi apresiasi kepada pemerintah atas pemberlakukan PP 01/2014 ini. PP ini adalah jembatan yang melengkapi mata rantai pasok (supply chain) industri dari hulu di sisi pertambangan mineral, sampai ke pembangunan industri logam dan manufaktur di sisi hilir,” ujarnya di Jakarta, Senin, 13 Januari 2013.

Selama ini, kata Ryad, kita hanya menyaksikan negara lain maju membangun industri logam dan manufakturnya, dengan mengolah dan memanfaatkan bijih mineral dari Indonesia. Padahal Indonesia mempunyai banyak tenaga ahli dan praktisi, yang mampu melakukan pengolahan dan pemurnian bijih mineral untuk membangun industri manufaktur yang kuat. Tapi hal ini tidak pernah terwujud karena kebijakan pemerintah yang selalu memberikan izin untuk mengekspor bijih mineral.

Ia mencontohkan Bapak Menteri Perindustrian yang kaget, melihat adanya tumpukan bauksit dari Indonesia sebesar 3 juta ton di China. “Padahal jika bauksit tersebut di suplai ke PT. Inalum, maka PT. Inalum dapat beroperasi selama 46 tahun,” tambah Ryad Chairil.

PT Inalum pun dapat mensuplai bahan baku kepada industri alumnimum dalam negeri yang umumnya memproduksi peralatan rumah tangga seperti panci, teko dll. Industri lainnya termasuk otomotif akan mendapat suplai bahan baku aluminium.

“Jadi kita tidak perlu impor bahan baku aluminium lagi. Masyarakat pun akan mendapat produk dengan harga yang murah dan berkualitas baik,” kata Ryad Chairil.

(Iksan Tejo / duniaenergi@yahoo.co.id)