Pemupukan atau penambahan nutrisi tanah pada kegiatan bioremediasi Chevron.

Pemupukan atau penambahan nutrisi tanah pada kegiatan bioremediasi Chevron.

JAKARTA – Sidang perkara dugaan korupsi pada proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang dipimpin hakim ketua Sudharmawati Ningsih di Pengadilan Tipikor Jakarta atas terdakwa  Endah Rumbiyanti (Rumbi) digelar pada tanggal 12 Juni 2013 dengan agenda pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum (JPU).

Pada sidang kemarin, terdakwa dituntut oleh JPU dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dikurangi dengan jumlah masa tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa, dengan perintah agar terdakwa ditahan di Rutan serta dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan.

Penasehat hukum karyawan CPI, Maqdir Ismail menilai bahwa jaksa telah melakukan tebang pilih fakta persidangan sebagai dasar tuntutan, yang dinilai Maqdir sangat jauh dari upaya jaksa untuk menegakkan hukum yang berkeadilan seperti yang sering digembor-gemborkannya.

“Ini jelas berbahaya karena jaksa lakukan tebang pilih fakta. Satu waktu jaksa memilih keterangan BAP daripada kesaksian di depan sidang pengadilan jika keterangan saksi atau ahli meringankan terdakwa, sementara di saat lain jaksa terus menerus menggunakan BAP ahli yang mendukung tuduhannya walaupun isinya patut diduga ada rekayasa,” jelas Maqdir di Jakarta, Kamis, 13 Juni 2013.

“Bagaimana mungkin BAP tiga orang ahli, yaitu Edison Effendi, Prayitno dan Bambang Iswanto yang disidik oleh penyidik yang sama dalam waktu yang berbeda tapi seluruh kalimat dan kata-kata mereka hingga titik-komanya sama persis? Sudah seharusnya BAP yang mirip copy paste begitu tidak dijadikan dasar tuntutan jaksa dan pertimbangan hakim,” tukas Maqdir.

Maqdir menilai bahwa jaksa ngotot karena telah keliru dalam menetapkan Rumbi sebagai tersangka. Sehingga jaksa berupaya keras untuk menutup kekeliruan dengan menghalalkan berbagai cara, seperti memakai keterangan ahli yang tak jujur dan mengabaikan keterangan ahli yang obyektif dan kredibel.

Seperti dalam pembacaan tuntutan, lanjut Maqdir, jaksa mengabaikan pendapat saksi ahli Asep Warlan Yusuf, pakar hukum UNPAR karena tidak mendukung tuduhan korupsi. “Asep menyatakan bahwa tindak pidana lingkungan merupakan kewenangan KLH tapi jaksa beralasan bahwa perkara tindak pidana korupsi ini berkaitan dengan pengadaan bukan soal lingkungan,” ujar Maqdir.

“Ini membingungkan. Dalam tuntutan jaksa sudah jelas diulas berbagai bukti yang mendukung tuduhan menyangkut proses bioremediasi yang jelas-jelas diatur dalam Kepmen LH 123/2008 dan juga soal pelanggaran perijinan pengolahan limbah oleh kontraktor yang diatur dalam PP 18/1999, artinya jaksa memeriksa kasus ini sebagai pelanggaran peraturan lingkungan. Terus maksudnya pelanggaran lingkungan tapi maunya pakai UU tipikor?” ungkap Maqdir keheranan.

Lebih lanjut Maqdir menegaskan bahwa jika kasus ini terkait proses pengadaan, maka sesuai dengan kontrak PSC dan PTK 007 BP Migas (sekarang SKK Migas) maka jaksa pun harus koordinasi dan mendengarkan penjelasan pejabat SKK Migas. “SKK Migas sebagai institusi yang menerbitkan aturan tersebut dan yang berwenang menilai adanya pelanggaran telah menyatakan bahwa proses tender CPI untuk proyek ini telah sesuai dengan PTK 007 dan petunjuk SKK Migas,” jelas Maqdir.

Jaksa Asal Tebak

Dalam tuntutannya, jaksa ngotot mengatakan bahwa Endah Rumbiyanti bersama-sama dengan Kukuh Kertasafari dan Widodo sebagai penanggung jawab kegiatan bioremediasi, tapi Endah Rumbiyanti tidak pernah melaksanakan tugasnya, hanya menerima laporan. Terdakwa pun dianggap tidak melaksanakan kewajiban jabatan untuk memberi saran mengenai perizinan.

Dalam soal ini Maqdir menjelaskan bahwa jika menyangkut persoalan tugas dan tanggung jawab pekerjaan dan jabatan terdakwa, semestinya penegak hukum berkoordinasi dan mengikuti penjelasan dari pihak perusahaan (CPI) untuk mendapatkan klarifikasi dan tidak boleh asal tebak saja,” ujar Maqdir.

“Dimanapun, yang paling tahu tugas dan tanggung jawab seseorang dalam posisi tertentu, tentunya pihak yang memberikan pekerjaan atau posisi itu. Nama posisi bisa saja sama tapi fungsinya sangat mungkin berbeda-beda. Apakah tugas seorang pembantu di satu rumah yang jumlah pembantunya 10 orang akan dipastikan sama dengan rumah yang punya satu pembantu saja? Tentulah berbeda dan tidak bisa ditebak-tebak orang lain di luar yang punya rumah,” ungkap Maqdir.

Seperti terungkap dalam tuntutannya bahwa jaksa mengabaikan keterangan saksi-saksi yang telah menjelaskan bahwa terdakwa tidak memiliki job desk dalam kegiatan bioremediasi. Jaksa menilai keterangan saksi-saksi itu tidak berdasar karena terdakwa adalah Manajer Lingkungan. “Tentu sangat keliru cara berpikir jaksa ini jika seseorang dijadikan tersangka hanya karena nama jabatan yang disandangnya, bukan karena tindakan yang dilakukannya?” ujar Maqdir.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai Manajer Lingkungan di Sumatera, lanjut Maqdir, terdakwa tidak memiliki hubungan dengan Kukuh atau Tim EIST atau dengan Widodo. “Bioremediasi tidak berada di bawah kewenangan tim HES-Lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya. Ada tim IMS-REM yang bertanggung jawab atas proyek bioremediasi,” ungkap Maqdir.

“Terdakwa tidak punya kewenangan untuk menghentikan kegiatan bioremediasi. Hal ini merupakan kewenangan manajemen yang lebih tinggi. Sebagai manajer lingkungan, terdakwa hanya menerima laporan-laporan kegiatan bioremediasi yang dikerjakan subkontraktor dan stafnya dan kemudian meneruskan laporan-laporan tersebut namun tidak memiliki kewenangan untuk merevisi atau melakukan tindakan atas laporan-laporan itu,” jelas Maqdir.

Ahli Sarat Kepentingan

Maqdir pun melanjutkan bahwa melapor kepada KLH pun bukan merupakan cakupan pekerjaan terdakwa sebagai Manajer Lingkungan. Tugas ini ditangani oleh tim HES di Jakarta. Terdakwa hanya memberikan laporan kepada manajernya di Sumatera (Manajer HES).

Maqdir pun mengungkapkan bahwa kedatangan terdakwa untuk memberikan keterangan ke kantor Kejagung bukan karena kapasitasnya sebagai manajer lingkungan. “Terdakwa memberikan keterangan ke Kejagung terkait proyek bioremediasi pada bulan Desember 2011 bukan karena terdakwa yang bertanggung jawab dalam proyek itu, tapi karena dia dianggap oleh atasannya memiliki kecakapan dalam memberikan penjelasan secara baik dan runtut,” imbuh Maqdir.

Oleh karena itu Maqdir menilai bahwa patut diduga ada alasan lain jika jaksa ngotot memaksakan penafsirannya dan terus berpedoman pada keterangan Edison Effendi, ahli yang sarat dengan konflik kepentingan, yang pernah dua kali gagal tender proyek bioremediasi di CPI, pernah mengancam karyawan CPI, serta pernah berbohong di muka persidangan.

“Kami meminta jaksa dan pengadilan agar kembali mengacu kepada perundang-undangan karena kasus ini menyangkut operasi migas dan proyek lingkungan. Penegak hukum seharusnya berkoordinasi dan mendengarkan keterangan yang telah disampaikan oleh KLH dan SKK Migas sebagai pihak yang berwenang dalam bidang ini,” pungkasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)