JAKARTA – Program peningkatan nilai tambah mineral logam (hilirisasi) dinilai akan lebih baik di bawah kewenangan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Hal tersebut karena biaya investasi yang besar dapat dikompensasi dengan nilai tambah yang tinggi.

Budi Santoso, Pengamat Pertambangan-Direktur Eksekutif CIRUSS, mengatakan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral bisa berbagi atau disinergikan dengan yang lain, sehingga lebih murah.

“Jangan karena pemerintah penekanannya pada PNBP (penerimaan negara bukan pajak), maka kelayakan hilirisasi terkorbankan. Royalti dibebankan kepada perusahaan tambang,” kata Budi kepada Dunia Energi, Selasa (14/2).

Sudewo, pengamat pertambangan, mengatakan hilirisasi sudah seharusnya di bawah Kementerian Perindustrian. Hal ini sudah dibuktikan melalui penerbitan izin usaha industri (IUI) untuk smelter-smelter nikel.

Dia menambahkan Direktorat Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak ada dasarnya, jika menyatakan IUI melanggar UU. Bahkan, tidak bisa mengklaim pemurnian IUP OPK di bawah wewenangnya, termasuk smelter nikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).

“IUP OPK adalah istilah baru dan tidak tercantum dalam UU Minerba,” ujar Sudewo, Anggota Komisi VII DPR periode 2009-2014.

Sudewo mensinyalir, hanya karena kepentingan ingin menguasai perizinan industri logam dasar, maka peraturan-peraturan mengenai pengolahan dan pemurnian diubah-ubah untuk mempertahankan wewenang tersebut.

“Contohnya, bisa dilihat di pasal 95 ayat 2 UU 23/2010 telah diubah di PP 77/2014. Kementerian ESDM diduga tidak mau kehilangan porsi pekerjaan industri yang akan dibangun perusahaan kontrak karya (KK), seperti Smelter Gresik yang izinnya IUI,” tandas Sudewo.(RA)