JAKARTA – Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan gugatan pencabutan Izin Lingkungan PLTU Cirebon II pada April 2017 lalu berpotensi menyebabkan pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon Power II berkapasitas 1×1.000 megawatt (MW) meleset dari target semula pada 2020.

Perkara gugatan tersebut merupakan perkara antara enam warga Desa Kanci Kulon, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, yakni Dusmad, dan kawan-kawan sebagai para penggugat melawan Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Jawa Barat (BPMP Provinsi Jawa Barat) sebagai tergugat. BPMP Provinsi Jawa Barat, selaku pemberi Izin Lingkungan PLTU Cirebon II, sudah mengajukan banding terhadap putusan PTUN Bandung.

Heru Dewanto, Presiden Direktur PT Cirebon Energi Prasarana, berharap pemerintah segera menyelesaikan permasalahan izin lingkungan agar pembangunan PLTU Cirebon Power II bisa tetap berjalan sebagaimana mestinya.

“Saat ini, pihak pemberi pinjaman belum mau mengucurkan dana. Kalau dana belum ada, bagaimana bisa proses pembangunannya tetap berjalan,” ujar Heru kepada Dunia Energi.

Konsorsium Multinasional Cirebon Power telah menandatangani perjanjian pendanaan (loan agreement) dengan tiga lembaga keuangan, yakni Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Korea Eximbank (KEXIM) dan Nippon Export and Investment Insurance(NEXI) senilai US$ 1,74 miliar atau lebih dari Rp 23 triliun untuk proyek PLTU Cirebon II kapasitas 1×1.000 MW, pada bulan April lalu.

Penandatanganan perjanjian pendanaan ini sejatinya diikuti dengan diselesaikannya proses pembiayaan pembangunan (financial closing) pada bulan Mei 2017.

PLTU yang berlokasi di Kabupaten Cirebon ini akan menggunakan bahan bakar batu bara kalori 4.000-4.500 dengan total kebutuhan sebanyak 4 juta ton per tahun.

Perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBTL) (Power Purchase Agreement/PPA) ekspansi Cirebon Power telah dilakukan pada 23 Oktober 2015 antara PLN dan Cirebon Power sebagai pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP). Pekerjaan konstruksi telah dimulai sejak 31 Maret 2016 dengan penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) Terbatas kepada kontraktor EPC yang dipimpin oleh HDEC (Hyundai Engineering Corporation).

Dengan mengadopsi teknologi ultra super critical, pembangkit yang berlokasi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat ini kelak akan menggunakan batubara kalori rendah yakni 4.000 hingga 4.600 kkal per kilogram, dan dapat melakukan pembakaran dengan efisiensi tinggi sehingga lebih ramah lingkungan.

PLTU Cirebon Power II yang merupakan ekspansi PLTU Cirebon Power I diproyeksikan mampu menghasilkan energi 7.533 GwH per tahun. Daya yang dihasilkan akan memperkuat sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali menggunakan transmisi 500 KV melalui koneksi gardu induk Mandirancan. Cirebon Power adalah konsorsium sejumlah korporasi yaitu Marubeni (Jepang), Indika Energy (Indonesia), Samtan dan Komipo (Korea) dan Jera (Jepang). Cirebon Power telah mengoperasikan pembangkit Unit 1 berkapasitas 660 MW dengan teknologi Super Critical Boiler sejak 2012.

Sebelumnya, Cirebon Power Unit 1 telah berperan sebagai salah satu penopang sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali dengan menyumbang 4.914 GwH per tahun. Sejak dioperasikan, Cirebon Power Unit 1 telah menjaga tingkat ketersediaan pasokan listrik (availability factor) diatas 90 %, dan tingkat emisi kurang dari sepertiga ambang batas nasional.

“Ini kan gugatan terhadap pemerintah, kami berharap masalah ini cepat diselesaikan. Kalau semua proyek kelistrikan swasta mengalami hambatan seperti ini, bagaimana bisa ada peningkatan elektrifikasi,” tandas Heru.(RA)