JAKARTA-Mengingat cadangan energi fosil Indonesia kian terbatas, maka ke depannya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta untuk serius mewujudkan pencapaian program bauran energi nasional. Beberapa skenario bisa dilakukan, termasuk membuka ruang lebih banyak bagi investasi sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan baik dari luar maupun dalam negeri.

“Membuat inovasi pada program gasifikasi dan pencairan batu bara, pembuatan briket batu bara, mengubah flare gas hasil buangan industri migas menjadi CNG/LPG, mengoptimalkan produksi wilayah kerja migas tua, dan lain sebagainya,” kata Ryad Chairil, Pakar Energi dan Pertambangan Universitas Indonesia, kepada Dunia Energi, Senin (5/9).

Untuk melakukan hal ini, menurut Ryad, Kementerian ESDM perlu melibatkan lembaga seperti BPPT, LIPI, maupun universitas terkait aspek audit teknologinya, dan memastikan kualitas teknologi yang digunakan aman.

Dia menekankan, pembangunan energi baru terbarukan (EBT) mutlak harus dilakukan. Apalagi pemerintah menargetkan 25% EBT dalam bauran energi nasional pada 2025.”Untuk bisa mencapai itu, maka perlu dilakukan penyempurnaan tupoksi kelembagaan EBTKE. Direktorat Jenderal (Ditjen) EBTKE yang selama ini cenderung untuk melakukan pembangunan pembangkit energi fotovoltaik sendiri, harus dikembalikan posisinya sebagai pembuat kebijakan bukancsebagai operator,” ungkap Ryad.

Ryad mengatakan, pembangunan infrastruktur pembangkit fotovoltaik diserahkan kepada fungsi badan usaha termasuk BUMN. Untuk panas bumi, pemerintah harus memberikan kepastian bagi pelaku investasi panas bumi darimulai penugasan penyelidikan sumber daya panas bumi sampai kepastianmendapatkan hak operasi produksinya.

“Di samping itu, pemerintah harus tegas bagi perusahaan pengembang pembangkit listrik tenaga air (PLTA) untuk melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan perizinan. Lalai dalam melaksanakan hal tersebut, berisiko dicabutnya perizinan yang bersangkutan,” tandas Ryad.(RA)