JAKARTA – Pembentukan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas tidak akan berjalan sesuai harapan jika pemerintah masih memperlakukan PT Pertamina (Persero) sebagai kendaraan politik semata.

Achmad Widjaja, Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia, mengatakan salah satu bentuk tidak tepatnya perlakuan terhadap pengelolaan Pertamina adalah saat harga minyak menyentuh US$40-an per barel pemerintah tidakĀ  memberikan tugas ke Pertamina sebagai perusahaan migas yang tidak optimal mengembangkan kilang, kemudian upstream, dowstream atau hingga hilir.

Padahal saat harga minyak rendah pemerintah melalui PT Pertamina Gas (Pertagas) seharusnya segera mengembangkan sektor hilir migas.

“Sekarang jelang harga minyak US$100 per barel lagi baru pikir ini itu. Kenapa tidak ada rencana yang jelas. Pertamina di obrak-abrik dalam hal manajerial. Serta selalu mengatakan Pertamina jadi bagian dari hulu dan hilir, tapi yang ada justru jadi bagian dari pada keputusan politik sebagai kendaraan politik,” kata Achmad, Selasa (22/5).

Selain itu, kebijakan pemerintah untuk meleburkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan Pertagas akan percuma jika tanpa ada integrasi nyata antara holding BUMN migas nantinya dengan PT PLN (Persero) yang merupakan penyerap utama gas.

“Sekarang ada holding migas, pertanyaan kita bagian pengusaha integritas antara hulu, PLN juga harusnya satu integritas. Jadi kami pakai utilitas itu jelas. Itu harus berjalan berdampingan dong. Kita perlu sesuatu yang benar yaitu utilisasi,” papar Achmad.

Pembentukan holding BUMN migas sendiri sampai sekarang masih belum final karena masih menyisakan proses peleburan antara PGN dan Pertagas. Saat ini masih dikalkulasikan nilai valuasi dalam rangka akuisisi Pertagas oleh PGN sebagai mekanisme penyatuan dua entitias bisnis tersebut.

Serikat Pekerja

Langkah akuisisi sendiri masih mendapat tentangan dari internal Pertagas. Serikat Pekerja Pertagas menilai pembentukan holding migas yang ada sekarang tidak menjamin Pertamina sebagai induk holding memiliki kuasa penuh terhadap pengelolaan gas oleh PGN kelak.

Selain itu keputusan aksi korporasi antara Pertagas oleh PGN harus dilakukan secara hati-hati dan tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa. Perlu tindakan penyehatan kinerja keuangan PGN terlebih dahulu, dimana pada masa transisi, integrasi PGN-Pertagas cukup dilakukan melalui sinergi operasi dan niaga tanpa perlu proses transaksional.

Menurut Achmad, apa yang menjadi tuntutan serikat pekerja menjadi wajar jika melihat proses pembentukan holding migas serta berbagai kebijakan pemerintah sekarang ini di bisnis gas.

“Karena masih bisa dilihat ketidakjelasan integrasi yang seharusnya bisa diatur pemerintah. Integrasi dan kolaborasi antara hulu hilir tidak tepat,” tandas dia.(RI)