JAKARTA– Kondisi fundamental terkait ancaman pasokan mendukung tren harga tembaga dalam jangka panjang. Namun, pergerakan harga tembaga mulai menemui hambatan setelah tambang di Chile mulai seiring tuntasnya persoalan mogo pekerja dan tambang Papua yang kembali beroperasi setelah terhenti selama 38 hari.

Aksi mogok kerja di tambang tembaga Escondida, Chile sebenarnya membawa sentimen positif pada harga tembaga. Pasalnya, mogok kerja membuat produksi tembaga berhenti dan pasokan global terancam mengalami defisit.

Di sisi lain, terhentinya operasi tambang Grasberg di Papua yang dikelola PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, juga sempat meningkatkan optimisme kenaikan harga. Namun, dengan beroperasinya kedua tambang itu dikhawatirkan meningkatkan pasokan sehingga membebani laju harga dalam jangka pendek.

Mengutip Bloomberg, Kamis (30/3), harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange sempat tergerus 0,4% ke level US$ 5.882 per metrik ton dibanding sehari sebelumnya. Namun, dalam sepekan terakhir, tembaga menanjak 0,98%. Tren kenaikan harga tembaga ini diproyeksikan mulai kuartal II 2017.

Koreksi harga tembaga yang terjadi Kamis (30/3) seiring dengan penguatan dolar AS. Pelaku pasar kembali fokus pada peluang kenaikan suku bunga The Fed. Beberapa komentar pejabat The Fed bernada hawkish sehingga mengangkat nilai tukar dollar AS dan menekan laju tembaga. Selain itu, pasokan tembaga pada awal tahun masih mencatat peningkatan. Selama bulan Maret, stok tembaga global naik 167.000 ton menjadi 750.000 ton.

Namun demikian, ke depan tren harga tembaga masih positif seiring dengan adanya dukungan dari program infrastruktur pemerintah Amerika Serikat (AS) serta kenaikan permintaan dari China. Banyak analis memperkirakan, harga tembaga tahun ini berpeluang menembus US$6.000 per ton seiring dengan proyeksi campuran antara pengetatan pasokan dan perkiraan pertumbuhan penambangan.

Daniel Hynes, senior commodities strategist Australia and New Zealand (ANZ) Banking Group, menyampaikan sentimen tembaga cenderung mixed antara proyeksi penambahan pasokan dengan pengetatan suplai.

Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2015 Chili merupakan produsen tembaga terbesar di dunia dengan produksi sejumlah 5,76 juta ton. Adapun Indonesia menjadi produsen ke-10 tertinggi dunia dengan suplai baru 580 ton.

Naiknya harga tembaga memang menjadi tantangan pasar ke depan yang masih ragu dengan tingkat fundamental suplai dan permintaan. Di tengah sentimen yang masih mixed, Citigroup Inc., memprediksi harga tembaga dapat menembus US$6.000 per ton. Terjadinya kenaikan harga disebabkan pertumbuhan pasokan yang masih melambat. Sekitar 3,5 juta ton kapasitas tambang atau 17% produksi global masih dalam proses perpanjangan kontrak tenaga kerja.

Pada 2016, harga tembaga meningkat 18% setelah turun dalam tiga tahun berturut-turut. Sentimen utama yang mendorong harga ialah proyeksi peningkatan belanja modal pembangunan infrastruktur di AS dan China.

Tahun lalu tembaga merupakan salah satu komoditas logam industri yang berhasil rebound dari keterpurukan 2015. Perbaikan ini didorong dari permintaan dari China. Berkat melambungnya permintaan dari negeri tirai bambu tersebut akhirnya tembaga mulai bertenaga kembali.

Data Shanghai Metal Market menunjukkan, impor tembaga setengah jadi periode Januari-November 2016 mengalami kenaikan sekitar 0,4% dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya. Sedangkan impor konsentrat tumbuh jauh lebih tinggi hingga 29%.

Tak hanya permintaan, terjadinya defisit pasokan juga turut melambungkan harga. International Cooper Study Group (ICSG) mencatat, selama periode Januari – September 2016 terjadi kekurangan pasokan tembaga sebanyak 84.000 ton. Padahal kebutuhan global dalam periode tersebut naik hingga 3%. (DR)