tambang sumbar

Salah satu kegiatan pertambangan di Sumatera Barat yang berlangsung persis di atas areal lahan pertanian.

PADANG – Hampir 35.000 hektar lahan pertanian pangan di Sumatera Barat (Sumbar) saat ini terancam rusak dan hilang, akibat maraknya kegiatan pertambangan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak agar pemerintah memasukkan klausul persetujuan masyarakat, sebagai syarat utama penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Koordinator Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar, Desriko mengungkapkan, lahan pertanian yang terancam rusak akibat pertambangan itu, selama ini ditanami padi dan sayur-sayuran oleh petani. “Sawah dan kebun sayur di Kabupaten Solok dan Sijunjung saat ini yang sudah jelas-jelas digerogoti tambang,” ujarnya pada Rabu, 12 September 2012.

Menurutnya, ancaman kerusakan lahan pangan ini tak terlepas dari kelambanan pemerintah, menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Pada 4 Juni 2011, lanjutnya, MK telah mengeluarkan putusan bahwa pemerintah harus memfasilitasi secara konkrit, agar persetujuan atau ketidakpersetujuan masyarakat dalam penetapan wilayah pertambangan, ikut menjadi persyaratan penetapan Wilayah Pertambangan (WP) dan diterbitkannya IUP.

Untuk itu, desak Desriko, diperlukan Peraturan Pemerintah tentang penetapan persetujuan masyarakat atas wilayah pertambangan. Jalan lainnya adalah, pemerintah segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan, agar penetapan pendapat masyarakat terdampak tambang bisa diakomodir.

Tambang yang mengancam keberlanjutan lahan sawah dan kebun sayur itu, diantaranya berada di Kabupaten Solok, Sijunjung, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Solok Selatan, dan Kabupaten Dharmasraya. “Harapan UU Minerba yang baru dapat menata kembali usaha pertambangan, belum terwujud,” tukas Desriko.

Yang terjadi, ujarnya, justru tambang makin meresahkan masyarakat, dan semakin banyak terjadi pelanggaran dan pengabaian hak-hak konstitusional masyarakat disekitar tambang. Hal ini kerap memicu konflik yang berkepanjangan.

Contohnya konflik pertambangan di Kenagarian Simpang Tanjuang Nan IV, Kabupaten Solok. Sejak hadirnya pertambangan bijih besi di sana, setidaknya 3 orang warga sempat ditangkap polisi akibat mencoba menghalangi usaha pertambangan.

“Kearifan lokal terhadap pengelolaan sumber daya alam diabaikan, bahkan intervensi-intervensi dari kelompok pendukung tambang, kerap dilakukan kepada Ninik Mamak (pemimpin adat di Sumbar) yang menolak usaha pertambangan di wilayahnya,” kata Desriko lagi.

Mahalnya biaya politik untuk menjadi kepala daerah, ditengarai sebagai penyebab maraknya penerbitan IUP di Sumbar, dengan dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pengusaha tambang enak saja mengeruk, pejabat daerah ikut menarik keuntungan. Sementara masyarakat di sekitar tambang mengalami kerugian tak terhingga.

Tanah yang dulunya dapat digunakan sebagai lahan pertanian atau sumber ekonomi, tidak lagi dapat diusahakan pasca tambang. Bahkan muncul berbagai jenis penyakit baru tanaman, yang dulunya tidak pernah terjangkit di wilayah tersebut. “Belum lagi berbagai kerusakan ekologis, tercemarnya tata air setempat, dan lain sebagainya,” tandas Desriko. (Iksan Tejo/duniaenergi@yahoo.co.id)

Luasan Lahan Pertanian Pangan di Sumbar yang Terancam Rusak Akibat Tambang

No.

Lokasi/Kabupaten

Luasan Lahan Terancam Rusak

Tambang

1 Kenagarian Simpang Tanjung Nan IV, Solok           222 hektar Bijih besi
2 Kabupaten Sijunjung           548 hektar Emas
3 Kabupaten Pasaman Barat      11.000 hektar Emas dan bijih besi
4 Kabupaten Pesisir Selatan           320 hektar Bijih besi
5 Kabupaten Solok Selatan           274 hektar Emas dan bijih besi
6 Kabupaten Dharmasraya     22.509 hektar Emas dan bijih besi

Sumber: Walhi (diolah)