Kukuh Kertasafari dalam persidangan kasus bioremediasi.

Kukuh Kertasafari dalam persidangan kasus bioremediasi.

JAKARTA – Salah satu terdakwa dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Kukuh Kertasafari menilai kejanggalan dalam perkara yang mejeratnya, sebenarnya sudah sangat telanjang. Ia merasa telah dikorbankan oleh jaksa, agar sang penegak hukum tidak kehilangan muka setelah salah menetapkan dirinya sebagai tersangka.

Seperti yang diungkapkan Kukuh dalam pledoi atau pembelaan yang dibacakannya pada persidangan Senin, 17 Juni 2013, jaksa sempat menyangkanya sebagai Team Leader Bioremediasi di Chevron, sehingga ditetapkan sebagai tersangka.

Namun setelah ia menjelaskan bahwa jabatannya adalah Team Leader Produksi, dan tidak ada sangkut pautnya dengan proyek bioremediasi Chevron, jaksa yang sempat kebingungan akhirnya tetap memaksakan dirinya menjadi tersangka, dengan dalih ia adalah Koordinator EIST (Environment Issue Settlement Team).   

Dalam pembelaannya di hadapan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu, Kukuh menegaskan kembali bahwa tugasnya sebagai Team Leader Produksi adalah memastikan produksi minyak yang penting bagi negara, dan sama sekali tidak berhubungan dengan proyek bioremediasi. Sehingga ia sangat yakin, sejak semula jaksa telah keliru menyangkanya sebagai Team Leader Bioremediasi.

“Saya sudah jelaskan kepada penyidik bahwa saya tim leader produksi bukan team leader bioremediasi. Saya juga bingung kok jaksa penyidik masih tanya saya soal identitas saya, padahal saya sudah ditetapkan oleh mereka sebagai tersangka,” ujar Kukuh menceritakan kejadian di gedung bundar saat pertama kali diperiksa setelah ditetapkan jadi tersangka.

Namun ternyata jaksa tidak mau kehilangan muka. Maka jurus baru keluar, dengan mendakwa Kukuh terkait dengan tugasnya sebagai Koordinator EIST, yang dianggap bertanggung jawab dalam penentuan lokasi tanah tercemar.

“Kesalahan fatal yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum (JPU) ketika mengkonstruksikan EIST sebagai organisasi tersendiri yang membawahi berbagai tim, dan menampilkan saya sebagai pucuk pimpinannya. Sehingga saya harus dibebani tanggung jawab atas kegiatan yang bukan berada di bawah tugas dan wewenang saya,” ungkap Kukuh.

EIST merupakan organisasi non struktural yang terdiri dari para wakil departement PGPA, Land, Produksi, HES dan IMS-REM dibentuk untuk membahas klaim tanah masyarakat. “Penugasan saya untuk terlibat di EIST dilakukan secara lisan oleh atasan, untuk menggantikan wakil dari tim produksi sebelumnya yang juga berperan sebagai koordinator,” jelasnya.

Kukuh menerangkan, anggota EIST bekerja berdasarkan tugas dari departemen masing-masing, bukan atas penugasan dari Koordinator EIST. “Anggota EIST tidak bertanggung jawab kepada saya, melainkan kepada atasan masing-masing tim dalam organisasi strukturalnya,” tegas Kukuh.

Tidak Tentukan Tanah Tercemar

Selaku Koordinator EIST, lanjut Kukuh, dirinya tidak pernah ikut campur dalam menentukan 28 lokasi tanah tercemar, ataupun lokasi-lokasi lainnya yang tercemar di area SLS Minas, untuk kemudian dibioremediasi. Penentuan lokasi tanah tercemar itu, tidak pernah tercantum di dalam tugas pokoknya selaku Koordinator EIST ataupun perintah secara lisan dari atasannya.

Menurut Kukuh, dirinya pun tidak terlibat dalam pembayaran pembebasan lahan tercemar. Pengajuan pembayaran pembebasan lahan tanah tercemar, dilakukan oleh Manager Land atas usul Team Land, bukan oleh dirinya selaku Koordinator EIST. Begitu pun dengan verifikasi serta pembayarannya, dilakukan oleh Manager Finance melalui Team Finance. Kukuh tidak terlibat sama sekali.

“Dari tuntutan yang dibacakan JPU, jelas tampak bahwa JPU sebenarnya sudah mengetahui bahwa saya tidak pernah menunjuk tanah tercemar, tidak pernah membebaskan lahan tercemar, dan tidak pernah memerintahkan kontraktor pelaksana (PT SGJ) untuk membersihkan dan mengangkut tanah tersebut ke SBF SLS Minas. Jadi atas dasar apa saya harus dipidana dan menghadapi tuntutan JPU untuk 5 tahun penjara?,” ujar Kukuh tak habis pikir.

Ia pun mempertanyakan, teori hukum mana yang menempatkan seseorang sebagai pihak yang bisa dimintai pertanggung jawaban pidana, karena pengetahuannya? “Bukankah dalam setiap tindak pidana selalu dipersyaratkan “barang siapa dengan sengaja melakukan suatu perbuatan kongkrit yang melanggar hukum pidana?”,” ujarnya.

Sementara itu Maqdir Ismail, penasehat hukum karyawan CPI, menyatakan semakin prihatin dengan cara berpikir JPU, yang sungguh sangat kacau balau, tidak sistematis dan serampangan. “Jaksa ngotot menutup malu dengan mengorbankan orang tak bersalah,” ucapnya.

Gagal Buktikan Dakwaan

JPU di satu sisi menyatakan, yang menetapkan lahan yang diklaim masyarakat sebagai lahan terkontaminasi minyak (COCS) adalah terdakwa Kukuh. Namun pada uraian lainnya, JPU menyatakan yang menetapkan lahan yang diklaim masyarakat sebagai lahan terkontaminasi minyak (COCS) adalah Muhammad Adib.

“Cara berpikir demikian sebenarnya telah menunjukkan dengan jelas kegalalan JPU dalam membuktikan surat dakwaannya,” ungkap Maqdir.

Selain itu, menurut Maqdir, jaksa telah mengakui dalam tuntutannya bahwa masing-masing anggota EIST, melakukan tugasnya sesuai dengan fungsi dari masing-masing departemen yang mereka wakili. Yakni Tim IMS-REM bertugas menentukan lokasi tanah tercemar, untuk pembelian lokasi tanah tercemar ditugaskan kepada Tim Land, pengerjaan bioremediasi oleh kontraktor PT SGJ (tim IMS-REM), pembayaran atas jasa kontraktor  dilakukan tim IMS-REM dan tim Finance, dan pengajuan anggaran bioremediasi sebagai dana cost recovery  juga menjadi tugas Tim Finance.

“Jadi kesimpulan yang diambil JPU bahwa Kukuh yang harus bertanggung jawab, jelas mengada-ada dan tidak masuk akal. Kami menilai bahwa di dalam suatu organisasi formal seperti CPI, seseorang tidak bisa diminta bertanggung jawab, atas suatu tindakan yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab atau melapor kepada orang tersebut,” jelas Maqdir.

Jaksa Selundupkan Fakta

JPU, menurut Maqdir, tak mampu menjelaskan lagi kenapa Kukuh dijadikan tersangka dan dituntut, karena terbuka jelas di persidangan bahwa bukan Kukuh yang menetapkan 28 lahan yang diklaim masyarakat sebagai lahan terkontaminasi minyak (COCS). Namun jaksa malah mencoba melakukan penyelundupan fakta.

“Jaksa melakukan penyelundupan fakta dengan cara mengalihkan peranan terdakwa Kukuh, yang semula dalam  Surat Dakwaan berperan sebagai orang yang menetapkan 28 lahan yang diklaim masyarakat sebagai lahan terkontaminasi minyak (COCS) menjadi orang yang berperan mengetahui. Ini jelas penegakan hukum yang sesat,” tegas Maqdir.

Maqdir pun berharap, semoga majelis hakim semakin terbuka dengan fakta-fakta ini, termasuk soal keterangan, analisa dan uji sampel dari Edison Effendi yang berperan ganda sebagai saksi fakta dan ahli dalam perkara bioremediasi ini.

“Peran Edison Effendi sebagai saksi fakta sekaligus ahli, nyata-nyata telah menyalahi ketentuan undang-undang soal saksi dan ahli yang boleh dipertimbangkan dan diterima keterangannya oleh hakim,”  pungkas Maqdir.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)