Majelis Hakim kasus bioremediasi saat membacakan vonis untuk Herland bin Ompo.

Majelis Hakim kasus bioremediasi saat membacakan vonis untuk Herland bin Ompo.

JAKARTA – Tim penasehat hukum Herland bin Ompo, salah satu terdakwa dalam kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, mengajukan protes keras kepada Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diketuai Sudharmawati Ningsih, karena hingga kini belum menyerahkan salinan vonis atau putusan kepada yang bersangkutan.

Herland adalah Direktur PT Sumigita Jaya, salah satu kontraktor proyek bioremediasi Chevron, yang pada 8 Mei 2013 lalu divonis 6 tahun penjara, serta denda, berikut kewajiban mengembalikan kerugian negara yang dituduhkan. Sayangnya, meski sudah hampir sebulan lalu divonis, hingga kini Herland belum mendapatkan salinan putusan hakim tersebut.

Seperti diungkapkan salah satu penasehat hukum Herland, Hotma P. D. Sitompoel di Jakarta, Rabu, 29 Mei 2013, hingga saat ini baik Herland maupun penasehat hukumnya, belum menerima Salinan Putusan Perkara Nomor: 81/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST tertanggal 8 Mei 2013. Padahal salinan itu sangat dibutuhkan Herland untuk melaksanakan haknya dalam mengajukan upaya hukum lanjutan.

“Kami telah menyampaikan keberatan dan protes keras atas belum diserahkannya salinan putusan majelis hakim kasus bioremediasi ini ke Ketua Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada 28 Mei 2013, dengan tembusan ke Mahkamah Agung, Ketua Komisi Yudisial, dan instansi terkait lainnya,” ujarnya.

“Belum diserahkannya salinan putusan atau vonis itu, telah melanggar, merugikan, dan menghalangi hak klien kami dalam melakukan upaya hukum lanjutan atas putusan tersebut,” tambah Hotma seraya mengatakan, saat ini Herland masih terus berada dalam tahanan. Artinya, Herland harus melaksanakan putusan majelis hakim Tipikor itu, tanpa pernah melihat langsung putusan yang dijatuhkan kepadanya.

Putusan Masih Diedit

Hotma mengaku, tim penasehat hukum Herland telah berulangkali meminta salinan putusan tersebut, melalui Panitera Pengganti i.c. Hartanto, SH. “Tetapi jawaban yang kami terima tetap sama, yaitu putusan masih diedit dan dikoreksi oleh Majelis Hakim,” ungkap Hotma.

Vonis atau putusan terhadap Herland sendiri, kata Hotma, banyak memuat pertimbangan hukum atas fakta-fakta yang keliru dan tidak sesuai dengan kenyataan, serta bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. “Apalagi terhadap Herland tetap dilakukan penahanan, maka salinan resmi putusan tersebut sangat penting dan menentukan, bagi upaya klien kami mencari keadilan dan kebenaran,” tandasnya.   

Hotma menerangkan, dengan tidak kunjung diserahkannya salinan putusan tersebut, maka majelis hakim Pengadilan Tipikor telah melanggar Pasal 226 juncto Pasal 200 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta Butir 2 dan Butir 4 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan.

Pasal 226 KUHAP menyebutkan “salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya segera setelah putusan diucapkan”. Pasal 200 KUHAP menyebutkan “surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan”.

Butir 2 SEMA RI 01/2011 menyebutkan “untuk perkara pidana pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya”. Butir 4 SEMA RI 01/2011 menyebutkan, “apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan tersebut diatas, maka Ketua Pengadilan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 

Dimintai tanggapannya terkait hal ini, Corporate Communication Manager Chevron Indonesia, Dony Indrawan mengaku heran, mengapa ada putusan pengadilan yang masih “diedit dan dikoreksi” padahal vonisnya sudah dibacakan dan terdakwa sudah menjalani hukuman.

“Yang saya pelajari sebagai Sarjana Psikologi, saya harus sangat benar dan hati-hati dulu dalam membuat interpretasi tertulis dari hasil pemeriksaan alat-alat tes yang saya pakai, sebelum saya membuat diagnose atau vonis. Apalgi ini terkait dengan kalimat-kalimat hukum dan aturan tertulis,” pungkasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)