JAKARTA – Para pelaku industri minyak dan gas (migas) dinilai perlu melakukan efisiensi usaha, untuk menyikapi kondisi rendahnya harga minyak saat ini. Salah satunya dengan meningkatkan kinerja supply chain management (SCM) atau rantai pasokan pengadaan barang dan jasa di sektor migas.

Ida Tota Simatupang, Kepala Dinas Kapasitas Nasional Satuan Kerha Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), mengatakan pihaknya telah mengumpulkan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan telah menerapkan aneka kebijakan terkait efisensi di sektor hulu migas.

“Seperti PLB (Pusat Logistik Bersama) sampai CIVD (Centralized Integrated Vendor Database) yang berkaitan dengan teknologi informasi,” kata Ida.

Bambang Pramujo, Direktur PT Wijaya Karya Tbk (WIKA),  mengatakan memperbaiki sistem dalam kegiatan Supply Chain Management sangat penting dalam tahapan kegiatan migas dari eksplorasi hingga eksploitasi.

“Di dalam setiap tahap supply chain ini tentu saja diperlukan barang dan jasa, diperlukan juga vendor dan kontraktor. Ada bagian-bagiannya dari pengangkutan, EPC, drilling dan sebagainya,” ungkap dia.

Menurut Bambang, di tengah situasi harga minyak yang rendah dan berimbas pada lesunya kegiatan hulu migas makin diperberat dengan tantangan terbukanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan menimbulkan arus bebas sumber daya manusia serta barang-barang ke dalam negeri.

Bambang mengungkapkanKementerian BUMN telah berupaya untuk membentuk holding dariBUMN yang sejenis untuk bersama-sama menghadapi tantangan MEA tersebut.

“Di tengah persaingan di dalam negeri kita yang semakin tinggi, datanglah pendatang baru dari luar. Ini jadi seram, tapi kita harus tetap optimistis dan enggak boleh lempar handuk. Bagaimana kita menghadapinya, tentu saja kita tidak bisa sendiri, kita harus menghadapinya secara bersama-sama,” tegasnya.

Menurut Khairul Rizal, Executive Director Pusat Pengembangan Manajemen Pengadaan Indonesia (PPMPI), supply chain management penting agar tidak pengeluaran tidak lebih besar dari penerimaan. Seperti diketahui, bahwa pada 2015, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas hanya sebesar US$ 12,86 miliar atau 85,8% dibandingkan target PNBP migas tahun lalu yang ditargetkan mencapai US$ 14,99 miliar.

Di sisi lain, biaya yang harus diganti pemerintah untuk kegiatan eksplorasi dan produksi KKKS lewat skema cost recovery  mencapai US$ 13,9 miliar, atau lebih besar US$ 1,04 miliar dari PNBP migas di tahun yang sama.

“Tapi ini cost recovery bukan cost hari ini yang di-recover tapi cost dari 5-10 tahun lalu ketika harga minyak mahal,” ungkapnya.

Khairul memaparkan, biaya untuk kegiatan-kegiatan supply chain berdasarkan data yang dihimpun dari perusahaan-perusahaan KKKS, ternyata mencapai 73%. Jumlah tersebut merupakan biaya untuk kegiatan procurement dan logistik, yang merupakan definisi paling sederhana dari kegiatan supply chain. Sementara biaya untuk perizinan hanya 12%, dan gaji sebesar 15%.

“Artinya, kalau kita bicara cost reduction, jangan coba-coba nurunin gaji, atau bermain dengan permit. Efisiensi di supply chain-lah yang paling efektif untuk dilakukan,” urai Khairul.(RA)