JAKARTA – Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dinilai sarat dengan praktek korupsi dan merugikan keuangan negara. Salah satu indikasi adalah dugaan suap dalam proyek PLTU Riau 1.

Kasus tersebut melibatkan anggota DPR Fraksi Golkar Eni Maulani Saragih (EMS) yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR yang menangani bidang energi dan pengusaha Johannes Kotjo, pemegang saham BlackGold Natural Resources Limited yang merupakan anggota konsorsium pengembang proyek PLTU Riau 1.

Eni diduga menerima suap Rp500 juta dari bagian keseluruhan Rp4,8 miliar yang merupakan commitment fee 2,5% dari nilai proyek PLTU Riau 1 berkapasitas 2×300 megawatt (MW).

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI, mengatakan kasus serupa pernah 9 terjadi dan melibatkan kepala daerah dan pengembang pembangkit listrik batu bara.

“Contoh kasus korupsi PLTU yang sudah diputus oleh pengadilan antara lain adalah kasus mark up harga lahan PLTU Indramayu 1 oleh mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin dan kasus pembebasan lahan PLTU Bunton, Cilacap yang melibatkan mantan Sekretaris Daerah Suprihono yang diputus 2013 dan kasus PLTU Tarahan yang menjerat politisi Emir Moeis untuk memuluskan perizinan proyek,” kata Dwi, Selasa (17/7).

Dia menambahkan, preseden ini menunjukkan bahwa moda korupsi di sektor ketenagalistrikan terjadi di sepanjang rantai nilai pengembangan proyek, pengadaan dan pengoperasian PLTU. Korupsi dapat terjadi di proses pengadaan lahan, proses perizinan, pengadaan teknologi maupun bahan bakar.

PLTU Riau 1 merupakan bagian dari program ketenagalistrikan 35 ribu MW yang didorong oleh pemerintah pusat. PLTU Riau 1 merupakan proyek pembangkit mulut tambang, artinya akan berlokasi dekat dengan tambang batubara pemasok bahan bakar. Hal juga berarti kerusakan lingkungan dan polusi yang diakibatkan oleh tambang batubara dan PLTU tersebut juga akan berlipat ganda bagi masyarakat sekitar.

PT Samantaka selaku anak perusahaan BlackGold Natural Resources Limited rencananya akan memasok 3,5 juta ton batu bara setiap tahun dalam suatu ikatan kontrak jangka panjang.

Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Riau, mengatakan  Sumatera saat ini mengalami kelebihan pasokan listrik. Jaringan Sumbagut saja pada 2017 kelebihan pasokan listrik sebanyak 10% di atas beban puncak.

“Penambahan kapasitas pembangkitan di Sumatera patut dipertanyakan untuk kepentingan siapa, karena proyek energi PLTU Riau 1 justru menghancurkan lingkungan dan sarat korupsi. PLTU Riau 1 sudah selayaknya dihentikan,” kata Riko.

Meski mengalami kelebihan pasokan listrik, pengadaan pembangkit swasta (IPP) dengan skema pembelian take or pay selama 20-25 tahun mengharuskan PLN tetap membayar listrik yang dihasilkan pembangkit swasta tersebut walaupun energi listriknya tidak digunakan konsumen.

“KPK harus mengusut PLTU Batubara IPP lain yang terindikasi tidak diperlukan tetapi dipaksakan untuk dibangun. PLTU IPP tersebut terutama PLTU di Jawa-Bali dan Sumatera yang mengalami surplus listrik yang sangat besar sekali,” kata Dwi.(RA)