JAKARTA- Sudah jatuh tertimpa tangga.Begitulah nasib PT Freeport Indonesia, perusahaan pertambangan emas dan tembaga di Kabupaten Mimika, Papua. Setelah dipaksa untuk melakukan divestasi sebanyak 51% saham kepada pihak Indonesia dan merevisi izin usaha agar dapat privilese untuk ekspor mineral mentah, Freeport juga divonis Pengadilan Pajak Jakarta membayar pajak air di atas permukaan. Total kewajiban pembayaran dan denda atas pajak air di atas permukaan sebesar Rp 3,4 triliun.

Lukas Enembe, Gubernur Papua, mengatakan gugatan terhadap Freeport itu terkait masalah pembayaran pajak daerah untuk 2011 sampai 2015. Pemprov Papua mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak Jakarta setelah Freeport keberatan dengan pembayaran pajak air permukaan yang digunakannya selama periode tersebut.

“Pada 17 Januari 2017, pengadilan menolak semua gugatan Freeport. Akhirnya Freeport memiliki kewajiban membayar kekurangan penerimaan daerah,” ujar Lukas dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.

Lukas menggatakan, keberatan yang dilayangkan Freeport soal perhitungan biaya penggunaan air di atas permukaan sungai. Freeport menghitung dengan biaya Rp10 per kubic per detik, padahal sesuai dengan Perda Nomor 4 Tahun 2011 maka perhitungan penggunaan permukaan air dibiayai sekira Rp130 per meter kubik per detik. Perda ini dibuat setelah ada Perubahan UU terkait Pemanfaatan Air Permukaan No 5 Tahun 1990.

“Pembayaran pajaknya Rp 2,6 triliun plus denda sebesar Rp 1 triliun sehingga total kewajiban Freeport sebear Rp 3,6 triliun,” katanya.

Freeport menurut Lukas masih diperbolehkan untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas kekalahan perkara pajak air di atas permukaan sungai ini. Namun, Lukas tidak yakin pengadilan tidak akan mengubah keputusan, Freeport harus membayar denda pajak yang telah diputuskan.

“Kalau waktu kewajiban membayar pajaknya saya belum terima lampiran surat dari Pengadilan Pajak Jakarta. Tapi saya yakin tidak ada ruang masuk untuk Freeport ajukan PK. Mereka merasa diri sebagai perusahaan pemegang kontrak karya jd ada alasan untuk tidak mematuhi aturan apalagi dari pemerintah daerah. Padahal sekarang kita sedang bersiap untuk beralih menjadi IUP,” katanya.

Menurut Lukas, Freeport sudah harus segera membayar kewajiban setelah putusan diterima. Apalagi, dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan Papua, termasuk persiapan Papua menjadi tuan rumah PON 2020.

“Kami juga mendorong Pemerintah untuk tegas pada Freeport termasuk soal saham dan smelter. Kami minta kepada pemerintah untuk setiap keputusan terkait Freeport harus libatkan pemerintah daerah. Kami juga meminta supaya ada pasal khusus yang mengatur tentang kepentingan papua dalam setiap kesepakatan dengan Freeport,” katanya. (ES)