JAKARTA – Rasio sukses kegiataneksplorasi minyak dan gas bumi PT Pertamina (Persero) saat ini mencapai 70%-80% di atas rata-rata industri migas  di Tanah Air sekitar 50%-60%. Namun, ke depan Pertamina akan menurunkan rasio keberhasilan (success ratio) pemboran eksplorasi untuk menemukan sumber-sumber minyak dan gas yang memiliki cadangan besar.

“Eksplorasi itu harus bekerja dengan successratio. Jadi jika kita lakukan 10 pemboran, jarang untuk sukses semuanya. Success ratio Pertamina overall antara 70%-80%,” ujar Doddy Priambodo, Senior Vice President Exploration Pertamina di Jakarta, Minggu (14/8).

Menurut Doddy, ke depan, target rasio keberhasilan kegiatan eksplorasi Pertamina akan diturunkan menjadi sekitar 60-65% agar perusahaan memiliki potensi yanglebih besar dalam menemukan cadangan-cadangan besar. Hal ini sesuai denganarahan manajemen Pertamina akan kegiatan eksplorasi Pertamina dituntut untukmeningkatkan risiko agar bisa meraih peluang untuk mendapatkan sumber-sumbermigas besar. “Direktur Hulu Pak Syamsu Alam sudah memberikan direction, risikonya diperbesar lagi karena perusahaan migas lainmencatatkan succes ratio 50%-60%, tapi temuannya besar,” katanya.

Angka penemuan cadangan minyak di Tanah Air masih menyedihkan. Bila dibandingkan dengan negara Asia-Pasifik,Indonesia tertinggal oleh Australia dan Malaysia dengan torehan rasio pengembalian cadangan 0,5. Artinya, setiap produksi 1 barel, cadangan yang ditemukan hanya 0,5 barel.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi mencatat aktivitas penemuan cadangan minyak dan gas oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun ini masih jauhcdari harapan. Hal ini diduga akibat pelemahan harga minyak dunia yang terjadisejak akhir 2014.

Hingga semester I 2016, aktivitas survei seismik baru mencakup dua kegiatan. Padahal dalam dokumen rencana kerja dan anggaran (work plan and budget) KKKS, survei ditargetkan mencapai 33 kegiatan. Survei non-seismik juga terpuruk dari rencana sebesar 13 kegiatan, realisasinya hanya empat kegiatan.

Menurut Doddy, eksplorasi merupakan cara untuk mengetahui lokasi-lokasi yangdinilai berpotensi memiliki cadangan migas. Setelah lokasi tersebut diketahui, barukemudian dilakukan pengeboran untuk membuktikan potensi cadangan migas yangterkandung di dalamnya. “Kalau pemburu, harimau itu kan ditembak. Kalau eksplorasi tidak, maksimum yangkita dapat kandangnya. Yang membuktikan hanya satu, pemboran,” kata dia.

Rovicky Dwi Putrohari, Dewan Penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI),mengatakan tingginya sukses rasio dari jumlah pengeboran memang menunjukkan kepiawaian geosaintisnya. Namun kalau dilihat besarnya temuan yang relatif kecil tentunya tidak menolong banyak dalam memberikan cadangan pengganti.Memang cadangan besar biasanya juga ditempat yang risikonya tinggi sehingga perlu dilihat dimana saja pengeboran itu dilakukan untuk melihat efektifitas dari kegiatan eksplorasi. “Di tempat yang risiko tinggi dengan hasil besar itu yang sering dipakaisebagai ‘uji nyali’  dalam melakukan eksplorasi,” kata Rovicky.

Menurut dia, potensi migas di Indonesia masih belum sepenuhnya dieksplorasisecara intens, termasuk di Indonesia bagian barat. Sebagai perusahaan yang 100%dimiliki negara, sudah semestinya pemerintah tidak hanya mendukung Pertaminadalam mengambil blok yang habis masa produksinya, tetapi juga dalam kegiataneksplorasi ditempat lain. Misalnya Indonesia Timur, maupun target-target dalam(deepert target) di Indonesia Barat. “Sebagai perusahaan yang dimiliki oleh negara, Pertamina juga perlu menjadi pionir eksplorasi di Indonesia,” tegas dia.

Rovicky mengatakan sesuai dengan visi misi Pertamina menjadi energy company, Pertamina akan memprioritaskan migas dalam operasinya. Khususnya untuk hulu, kegiatan eksplorasi, dari blok yang dikelola saat ini sekitar 65 blok, ada 30 blok yang merupakan blok sudah berproduksi. “Kalau kita pukul rata rasio sukses migas itu 10% saja, jumlah blok eksplorasinya harus ditambah karena tidak akan mencukupi resources replacement-nya,” ungkap dia.(RA)