JAKARTA– Pemerintah disarankan untuk mengkaji ulang pemberian subsidi bagi masyarakat serta usaha mikro dan kecil yang menggunakan LPG 3kg karena tidak efektif dan rawan penyelewangan. Untuk jangka panjang, subsidi LPG 3kg sebaiknya juga ditiadakan.

“Subsidi LPG 3 kg jangan sampai salah sasaran. Ini sangat rentan sekali buat bocor karena belum ada pengawasannya. Jangan sampai LPG 3kg ini bisa dinikmati oleh restoran-restoran yang menghabiskan ratusan tabung padahal mereka untungnya sudah banyak,” ujar Berly saat berbicara pada diskusi “Mengawal Subsidi LPG 3Kg Tepat Sasaran” yang diadakan Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Rabu (18/10).

Program konversi BBM ke LPG 3kg telah dilakukan sejak 2007. Dalam perjalanannya, konsumsi LPG 3 kg tidak tepat sasaran. Sesuai ketentuan, LPG 3 kg diperuntukan bagi masyarakat miskin dan usaha kecil dan mikro. Namun di lapangan, LPG 3 kg digunakan oleh rumah tangga menengah dan mapan, pertanian, peternakan, bahkan jasa laundry pakaian.

“Selama ini LPG 3kg dikonsumsi siapa saja karena tidak diatur dengan mekanisme distribusi tertutup sehingga konsumsi terus meningkat. Ini juga kan jadi cost bagi Pertamina,” ujar Berly.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, pagu subsidi LPG ditetapkan  Rp20 triliun dengan asumsi program subsidi langsung LPG dimulai secara bertahap pada 2017. Bila penyaluran dibatasi secara penuh, diperkirakan subsidi LPG turun menjadi Rp15 triliun.

Turunnya angka subsidi karena berkurangnya jumlah rumah tangga penerima yang semula 54,9 juta rumah tangga menjadi  26 juta rumah tangga karena LPG 3 kg hanya dinikmati rumah tangga miskin dan 2,3 juta usaha mikro. Dalam APBN Perubahan 2016, kuota LPG 3 kg ditetapkan  6,25 juta ton dan pada 2017 ditetapkan 7,096 juta ton.

Menurut Berly, subsidi LPG 3kg akan efektif jika memenuhi sejumlah kritah eria, antara lain harus sampai pada penerima (targeted), menyentuh hal-hal yang produktif, dan tidak mengalami pertumbuhan yang besar setiap tahun. “Jangan sampai juga habis waktu untuk urusan administrasi atau orang seperti raskin,” ujarnya.

Ali Ahmudi, pengamat energi dari Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS), dalam diskusi tersebut menjelaskan subsidi LPG 3 kg yang diberikan kepada orang akan jauh lebih efektif. Selain itu jangan sampai masayarakat diberikan pilihan dengan disparitas harga yang sangat jauh.

Ali mencontohkan LPG, selain 3kg, ada kemasan LPG 5,5 kg dan 12 kg, namun disparitas harganya cukup jauh. “Selama ada pilihan dengan harga yang jauh lebih murah, masyarakat akan lebih memilih dengan harga yang lebih murah, siapapun itu,” katanya.

Dia menyarankan agar subsidi tepat sasaran  dan efektif, sebaiknya diberikan kepada orang lebih efektif ketimbang subsidi barang. Setelah itu dilakukan melalui subsidi tertutup kemudian pemerintah juga harus memiliki alternatif selain LPG agar masyarakat  memiliki pilihan lain.

“Idealnya subsidi tidak naik atau menggelembung, justru seharusnya yang terjadi adalah penurunan angka penerima subsidi. Kalau subsidi barang terus dilakukan, akan menjadi candu. Sebaiknya untuk jangka panjang, subsidi barang dihilangkan,” ujarnya.

Ali mengatakan, kemampuan nasional untuk memproduksi LPG 3 kg hanya sebesar 1,4 juta metrik ton. Sementara kebutuhan nasional sebesar 5 juta metrik ton. Lebih dari 3 juta metrik ton, masih impor. “Dengan berfokus pada subsidi yang bersifat konsumtif, kebutuhan terhadap LPG impor juga akan semakin besar,” katanya.

Sementara LPG tidak mudah digantikan oleh LNG ataupun CNG, meski sama-sama berasal dari sumber minyak dan gas bumi. Pasalnya, masing-masing memiliki karakter berbeda. “Menggantikan LPG dengan CNG atau LNG tidak gampang. Butuh teknologi dan biaya yang lebih,” ujarnya. (RA)