JAKARTA-Perkembangan subsidi liquefied petroleum gas (LPG) kemasan 3 kilogram (kg) berada dalam kondisi tidak sehat karena konversi minyak tanah ke LPG yang sebelumnya memberikan penghematan anggaran, malah telah bergeser menjadi beban. Hal itu tampak dari besaran subsidi LPG 3 kg sudah melebihi besar subsidi minyak tanah sebelum program konversi ini berjalan, bahkan dari tahun ke tahun, nilai subsidinya terus meningkat.

“Penambahan subsidi LPG 3kg karena pengguna LPG meningkat. Pengguna LPG 3kg bulan lagi masyarakat kelas bawa, tapi juga menengah ke atas,” ujar Maxensius Tri Sambodo, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, baru-baru ini.

Maxensius mengatakan, dari hasil penelitiannya, jumlah rumah tangga pengguna LPG bersubsidi naik dari 2015 sebanyak 41,58 juta menjadi 45,37 juga pada 2016. Dari para pengguna ini, tidak semuanya layak menggunakan LPG 3 kg.

Di sisi lain di tengah pentingya upaya melakukan pengendalian subsidi LPG 3 Kg, Maxensius juga menyoroti pemerintah justru menjalan program konversi kapal bensin ke LPG 3 Kg bagi nelayan kecil. Kebijakan ini membuka celah bagi pertumbuhan konsumsi LPG yang lebih cepat lagi di masa depan. “Posisi pemerintah yang berada dipersimpangan jalan, antara mencabut subsidi LPG dan membuka ruang subsidi baru, memperlihatkan sikap yang tidak konsisten terhadap UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi,” ujarnya.

Menurut dia, kebijakan subsidi ini bukan berarti tanpa biaya. Selain bertambahnya beban negara, subsidi LPG 3 kg juga rawan penyalahgunaan, membuka celah ketimpangan, dan hilangnya kesempatan untuk memanfaatan sumber energi bagi penggunaan lainnya yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar bagi negara.

Berly Martawardaya, Dosen Ekonomi Energi dan Sumber Daya Mineral Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, dalam diskusi “Mengawal Subsidi LPG 3Kg Tepat Sasaran” di Jakarta, Rabu (18/10), menyatakan kebijakan pemerintah memberikan subsidi terhadap produk LPG 3kg tidak efektif dan rawan penyelewangan karena fokus subsidi hanya pada barang. Karena itu, subsidi LPG 3kg sebaiknya diberikan langsung kepada orang, bahkan untuk jangka panjang subsidi tersebut ditiadakan.

Menurut Berly, subsidi LPG 3kg akan efektif jika memenuhi sejumlah kriteria, antara lain harus sampai pada penerima (targeted), menyentuh hal-hal yang produktif, dan tidak mengalami pertumbuhan yang besar setiap tahun. “Jangan sampai juga habis waktu untuk urusan administrasi atau orang seperti raskin,” ujarnya.

Berly mengatakan agar subsidi tepat sasaran bisa melalui skema Kartu Indonesia Sehat (KIS) ataupun Kartu Indonesia Pintar. Di sana tinggal memasukkan nominal alokasi untuk LPG 3 kg, misalnya tiga tabung LPG untuk 1 kepala keluarga. “Akan lebih effective cost-nya tinggal ditambah untuk harga tiga tabung LPG 3 kg misalnya seharga Rp 45ribu,” ujarnya.

Pagu subsidi LPG pada APBN 2017 ditetapkan  Rp20 triliun dengan asumsi program subsidi langsung LPG dimulai secara bertahap pada 2017. Bila penyaluran dibatasi secara penuh, diperkirakan subsidi LPG akan turun menjadi Rp15 triliun. Turunnya angka subsidi karena berkurangnya jumlah rumah tangga penerima yang semula 54,9 juta rumah tangga menjadi  26 juta rumah tangga karena LPG 3 kg hanya dinikmati rumah tangga miskin dan 2,3 juta usaha mikro. Dalam APBN Perubahan 2016, kuota LPG 3 kg ditetapkan  6,25 juta ton dan pada 2017 ditetapkan 7,096 juta ton.

Dalam perjalanannya, konsumsi LPG 3 kg tidak tepat sasaran. Sesuai ketentuan, LPG 3 kg diperuntukan bagi masyarakat miskin dan usaha kecil dan mikro. Namun di lapangan, LPG 3 kg digunakan oleh rumah tangga menengah dan mapan, pertanian, peternakan, bahkan jasa laundry pakaian.

“Selama ini LPG 3kg dikonsumsi siapa saja karena tidak diatur dengan mekanisme distribusi tertutup sehingga konsumsi terus meningkat. Ini juga kan jadi cost bagi Pertamina,” ujar Berly.

Ali Ahmudi, pengamat energi dari Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS), mengatakan subsidi LPG 3 kg yang diberikan kepada orang akan jauh lebih efektif. Selain itu jangan sampai masayarakat diberikan pilihan dengan disparitas harga yang sangat jauh.

Ali mencontohkan LPG, selain 3kg, ada kemasan LPG 5,5 kg dan 12 kg, namun disparitas harganya cukup jauh. “Selama ada pilihan dengan harga yang jauh lebih murah, masyarakat akan lebih memilih dengan harga yang lebih murah, siapapun itu,” katanya.

Dia menyarankan agar subsidi tepat sasaran  dan efektif, sebaiknya diberikan kepada orang lebih efektif ketimbang subsidi barang. Setelah itu dilakukan melalui subsidi tertutup kemudian pemerintah juga harus memiliki alternatif selain LPG agar masyarakat  memiliki pilihan lain.

“Idealnya subsidi tidak naik atau menggelembung, justru seharusnya yang terjadi adalah penurunan angka penerima subsidi. Kalau subsidi barang terus dilakukan, akan menjadi candu. Sebaiknya untuk jangka panjang, subsidi barang dihilangkan,” ujarnya.

Menurut Ali, tidak masalah apabila subsidi tidak bertumbuh. Namun, bila LPG bersifat konsumtif, jumlah terus bertambah dan lama-kelamaan negara tidak bisa membayar.

Dari sisi produksi, lanjut Ali, kemampuan nasional untuk memproduksi LPG 3 kg hanya sebesar 1,4 juta metrik ton. Sementara kebutuhan nasional sebesar 5 juta metrik ton. Lebih dari 3 juta metrik ton, masih impor. “Dengan berfokus pada subsidi yang bersifat konsumtif, kebutuhan terhadap LPG impor juga akan semakin besar,” katanya.

Sementara LPG tidak mudah digantikan oleh LNG ataupun CNG, meski sama-sama berasal dari sumber minyak dan gas bumi. Pasalnya, masing-masing memiliki karakter berbeda. “Menggantikan LPG dengan CNG atau LNG tidak gampang. Butuh teknologi dan biaya yang lebih,” ujarnya.

Karena itu, kalaupun ada opsi alternatif selain LPG, harus dicarikan sumber energi yang lebih mudah misalnya melalui jaringan gas ataupun biomassa. (dr)